Langsung ke konten utama

Berita Paling Membingungkan Sedunia

Pagi ini aku terbangun dengan berita paling membingungkan sedunia.
Malam tadi, kamu hanya pamit untuk tidur lebih awal. Bukan tidur untuk selama-lamanya.
Keisengan macam apa ini?

Tanpa keluhan, tanpa himbauan, kamu menghembuskan nafas terakhir?
Aku bangun pagi dengan kebingungan, aku masih tidak tahu bagaimana aku harus merespon kabar yang aku terima. Aku bahkan tidak punya baju warna hitam.
Aku tidak menangis karena aku tidak sedih. Aku hanya kebingungan. Aku sangat kebingungan.

Aku berangkat sendiri menuju kediamanmu. Bertemu dengan sahabat-sahabat kita dan tatapan prihatin mereka, namun aku tetap tidak menangis. Aku masih belum bisa memahami kabar yang kuterima beberapa jam yang lalu. Bahwa manusia yang hampir tiap hari mewarnai hari-hariku telah tiada nafasnya.

Aku bertemu keluargamu yang belum sempat berkenalan denganku. Mereka mengenaliku namun terlihat ragu-ragu. Aku tidak tahu arti keraguan itu, mungkin mereka masih sama bingungnya denganku. Beranjak aku menuju peti tempatmu berbaring, memandang wajahmu untuk terakhir kalinya.

Dadaku terasa sesak, nafasku tercekat seketika. Wajah yang selama ini menjadi bahagiaku benar-benar tiada. Aku berbalik dan memandang kedua orang tuamu, saudara-saudaramu, memandangku dengan tatapan penuh nasihat untuk melepasmu pergi. Bagaimana bisa aku tidak melepasmu ketika tempatmu kini lebih indah?

Aku berusaha untuk tetap tenang. Bagaimanapun, masih ada yang lebih berduka daripada aku.
Kami semua beranjak mengantarmu ke tempat peristirahat terakhir dengan hati yang masih tercabik-cabik, sama-sama belum siap melihatmu pergi secepat ini. Upacara berjalan lancar. Seusainya, semua orang beranjak pergi. Kini, tinggal aku dan kamu. Berdua saja.

Perlahan, bahuku terguncang dan tangisku mulai berderai. Aku terisak pelan, semakin lama semakin kencang. Rasa rindu menyeruak dalam hatiku, begitu liar hingga terasa sangat menyakitkan. Pudar sudah rencana yang kita rancang bersama, kini tinggal aku sendiri bergelut dengan duka. Sebentar ya. Beri aku waktu, sebentar saja. Nanti juga aku akan baik-baik saja. Tidak usah khawatir. Selamat menempuh hidup baru!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...