Langsung ke konten utama

Baik Baik Saja

pada awalnya, kamu akan merasa baik-baik saja. bahwa yang terjadi akan terjadi dan kamu akan tetap melaju melalui apapun yang ada di depanmu. perlahan, yang kamu temui adalah rintang dan bahagia hanya mampir sebentar untuk menjadi alasan. kemudian, kamu merasa lebih bahagia dari sebelumnya. untuk pertama kali, bahagia datang tidak hanya untuk mampir namun menetap. lalu, kembali kamu menemui hal-hal dari masa lalu yang pernah membuatmu menyerah. apa yang pernah terjadi menahanmu maju dan bergumul di pikiran seolah kepalamu adalah rumahnya. ia kemudian tidak kunjung pergi dan terus berada pada tiap apa-apa yang kamu kerjakan. seiring dengan berjalannya waktu, kamu menganggapnya wajar dan merasa memang harus hidup dengan pikiran itu. maka kemudian kamu memutuskan untuk berpura-pura. kamu berpura-pura tidak terjadi apa-apa hingga mati rasa. pada akhirnya, tidak lagi ada perasaan. kamu hanya berjalan dari satu hari ke hari yang lain berbekal nafas dan tenaga. kamu berbincang, tertawa, menangis, tersedu, namun tidak ada yang benar-benar membuatmu merasa menjadi manusia yang seutuhnya.

hingga kamu menemui seorang profesional.
tidak ada yang spesifik dari pertemuan itu, hanya perbincangan atas apa yang sebenarnya kamu rasakan.
bukan kamu rasakan, apa yang susah payah tidak kamu akui.
menggali jauh ke dalam lubuk hati yang paling dalam.
menggali jauh ke dalam kepala yang penuh dengan dugaan-dugaan tak beralasan.

untuk pertama kalinya, kamu pulang sembari menyanyikan lagu kesukaanmu.
kamu makan sate. kamu buka twitter. kamu retweet video kucing yang bodoh.
tanpa sadar, kamu kembali tersenyum.
kamu tidur lebih cepat tanpa perlu menghabiskan waktu untuk buka aplikasi nonton film.
kamu hanya memandang langit-langit kamar lalu tertidur.
kamu bangun tepat setelah delapan jam kamu lalui sambil terlelap.
langsung mandi karena suhu sedang panas-panasnya, lalu sibuk mematut diri sembari berjoget diiringi lagu yang mengingatkanmu atas masa muda yang konyol.
kamu kembali menjalani rutinitas yang itu-itu saja, namun kali ini berbeda.

sudah, kosong ini sudah ada isinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...