Aku menyabet kunci mobil yang tergantung di samping pintu rumahku. Hampir tengah malam, aku mengendarai mobil bapakku yang lama terbengkalai karena kami sekeluarga lebih memilih taksi daring dan sepeda motor. Mobil tua tanpa pendingin ini melaju cepat seolah sering dirawat, mungkin ia juga tahu bahwa aku benar-benar membutuhkan bantuannya malam ini. Aku melalui jalanan yang telah kuingat di luar kepala, jalanan yang dulu kerap kulewati untuk pergi bersenang-senang. Kali ini berbeda, hanya ada gelisah dan kebingungan. Aku tidak pergi bersenang-senang.
Laju semakin pelan ketika aku sudah sampai di depan rumah salah satu teman baikku, hampir seperti saudara. Kulihat ia dan ibunya berduyun-duyun keluar rumah, terlihat lusuh. Kami sama-sama terbangun, aku sangat maklum apabila kami memiliki penampilan yang sama. Kami sama-sama terkejut. Setelah ibunya mengunci pagar, mereka berdua masuk mobil. Tidak ada kata-kata yang terlontar dari mulut kami semua. Keheningan menyelimuti kendaraan yang kuarahkan ke kediaman sahabat kami yang satu lagi.
Ia keluar rumah sembari mencoba menutup rambutnya dengan kerudung. Bapaknya nampak berdiri di depan pintu untuk melepasnya pergi di tengah malam yang dingin. Aku membuka kaca jendela mobil untuk sekedar menyapa jiwa yang masih lekat dengan kantuk itu. Ada sorot prihatin yang kutangkap, mungkin duka juga menyelimutinya. Duka menyelimuti kami semua.
"Kemana kita?" ujarnya, setelah duduk disamping kursi kemudi.
"Rumahnya." jawabku.
Tujuan terakhir, kami akhirnya harus pergi ke rumahmu.
Kami akhirnya harus menerima bahwa salah satu sahabat, saudara kami, telah tiada.
Sebuah keputusan yang bodoh untuk meninggal pada malam hari. Harus membangunkan orang-orang terdekat, membuat kami bingung atas apa yang harus dilakukan. Apakah malam ini kami harus melayat? Atau esok pagi saja? Apa yang harus kami bawa ke rumah duka? Bagaimana kami mencoba untuk terlihat baik-baik saja di depan keluargamu?
Meninggal di malam hari adalah sebuah keputusan yang bodoh.
Membuatku mengendarai mobil tua tanpa pendingin untuk mengitari kota kecil ini dan menjemput sahabat-sahabat kita yang terlihat sama kalang kabutnya denganku, sembari memikirkan apa yang sebenarnya terjadi hingga kabar tak mengenakkan ini harus sampai di telinga kami pada saat mata mungkin sudah terpejam. Apa salahku? Apa salah kami? Tega.
Apa yang harus kukatakan pada orang tuaku ketika mereka melihatku pergi semalam ini dengan pakaian serba hitam? Kamu kira aku akan tega mengatakan bahwa kamu telah tiada tanpa menangis tersedu-sedu di depan orang lain?
Sebuah keputusan yang amat sangat bodoh, untuk meninggal di malam hari tanpa sempat mengucap salam perpisahan. Kamu memaksa kami untuk bergelut dengan pikiran di kepala masing-masing atas kenangan bersamamu. Perdebatan yang tidak pernah selesai namun selalu ditutup dengan tawa, wejangan-wejangan yang pernah kamu katakan saat patah hati kami yang pertama, masakan hasil eksperimenmu yang awalnya tak enak namun berangsur lezat. Kamu kira kami tak ingat hingga kamu harus menghukum kami dengan meninggal di malam hari?
Aku menepi untuk membeli air mineral di minimarket. Mulutku terasa masam, baru ingat aku belum sikat gigi. Terlalu panik.
Setelah membayar, kuteguk air mineral itu perlahan melewati kerongkonganku. Udara malam begitu dingin, hampir terlalu dingin untuk sebuah kota kecil yang kian padat penduduknya. Kamu tidak pernah mengeluh tentang apapun. Menurutmu, segala hal terjadi untuk suatu alasan. Kamu tidak pernah mengeluh harus selalu pulang dini hari untuk bekerja membanting tulang. Bahkan kamu tidak mengeluh ketika sembelit. Aku selalu bangga padamu atas hal itu.
Aku sendiri kesulitan untuk berhenti mengeluh. Aku sedang mengusahakannya.
Kamu selalu terlihat baik-baik saja.
Kamu merawat kami semua, memberikan kami ruang yang kami butuhkan dan pelukan yang menghangatkan.
Sudah, mungkin ini yang harus kami korbankan untuk apa-apa yang kamu korbankan untuk kami.
Kami hanya harus mengorbankan satu tidur pada malam kami untuk mengantarmu ke tempat peraduan terakhir.
Sebuah keputusan yang bodoh untuk meninggal di malam hari. Mungkin kamu juga tidak tahu akan meninggal malam ini, aku hanya ingin bilang keputusan yang bodoh untuk meninggal di malam hari. Sangat bodoh.
Laju semakin pelan ketika aku sudah sampai di depan rumah salah satu teman baikku, hampir seperti saudara. Kulihat ia dan ibunya berduyun-duyun keluar rumah, terlihat lusuh. Kami sama-sama terbangun, aku sangat maklum apabila kami memiliki penampilan yang sama. Kami sama-sama terkejut. Setelah ibunya mengunci pagar, mereka berdua masuk mobil. Tidak ada kata-kata yang terlontar dari mulut kami semua. Keheningan menyelimuti kendaraan yang kuarahkan ke kediaman sahabat kami yang satu lagi.
Ia keluar rumah sembari mencoba menutup rambutnya dengan kerudung. Bapaknya nampak berdiri di depan pintu untuk melepasnya pergi di tengah malam yang dingin. Aku membuka kaca jendela mobil untuk sekedar menyapa jiwa yang masih lekat dengan kantuk itu. Ada sorot prihatin yang kutangkap, mungkin duka juga menyelimutinya. Duka menyelimuti kami semua.
"Kemana kita?" ujarnya, setelah duduk disamping kursi kemudi.
"Rumahnya." jawabku.
Tujuan terakhir, kami akhirnya harus pergi ke rumahmu.
Kami akhirnya harus menerima bahwa salah satu sahabat, saudara kami, telah tiada.
Sebuah keputusan yang bodoh untuk meninggal pada malam hari. Harus membangunkan orang-orang terdekat, membuat kami bingung atas apa yang harus dilakukan. Apakah malam ini kami harus melayat? Atau esok pagi saja? Apa yang harus kami bawa ke rumah duka? Bagaimana kami mencoba untuk terlihat baik-baik saja di depan keluargamu?
Meninggal di malam hari adalah sebuah keputusan yang bodoh.
Membuatku mengendarai mobil tua tanpa pendingin untuk mengitari kota kecil ini dan menjemput sahabat-sahabat kita yang terlihat sama kalang kabutnya denganku, sembari memikirkan apa yang sebenarnya terjadi hingga kabar tak mengenakkan ini harus sampai di telinga kami pada saat mata mungkin sudah terpejam. Apa salahku? Apa salah kami? Tega.
Apa yang harus kukatakan pada orang tuaku ketika mereka melihatku pergi semalam ini dengan pakaian serba hitam? Kamu kira aku akan tega mengatakan bahwa kamu telah tiada tanpa menangis tersedu-sedu di depan orang lain?
Sebuah keputusan yang amat sangat bodoh, untuk meninggal di malam hari tanpa sempat mengucap salam perpisahan. Kamu memaksa kami untuk bergelut dengan pikiran di kepala masing-masing atas kenangan bersamamu. Perdebatan yang tidak pernah selesai namun selalu ditutup dengan tawa, wejangan-wejangan yang pernah kamu katakan saat patah hati kami yang pertama, masakan hasil eksperimenmu yang awalnya tak enak namun berangsur lezat. Kamu kira kami tak ingat hingga kamu harus menghukum kami dengan meninggal di malam hari?
Aku menepi untuk membeli air mineral di minimarket. Mulutku terasa masam, baru ingat aku belum sikat gigi. Terlalu panik.
Setelah membayar, kuteguk air mineral itu perlahan melewati kerongkonganku. Udara malam begitu dingin, hampir terlalu dingin untuk sebuah kota kecil yang kian padat penduduknya. Kamu tidak pernah mengeluh tentang apapun. Menurutmu, segala hal terjadi untuk suatu alasan. Kamu tidak pernah mengeluh harus selalu pulang dini hari untuk bekerja membanting tulang. Bahkan kamu tidak mengeluh ketika sembelit. Aku selalu bangga padamu atas hal itu.
Aku sendiri kesulitan untuk berhenti mengeluh. Aku sedang mengusahakannya.
Kamu selalu terlihat baik-baik saja.
Kamu merawat kami semua, memberikan kami ruang yang kami butuhkan dan pelukan yang menghangatkan.
Sudah, mungkin ini yang harus kami korbankan untuk apa-apa yang kamu korbankan untuk kami.
Kami hanya harus mengorbankan satu tidur pada malam kami untuk mengantarmu ke tempat peraduan terakhir.
Sebuah keputusan yang bodoh untuk meninggal di malam hari. Mungkin kamu juga tidak tahu akan meninggal malam ini, aku hanya ingin bilang keputusan yang bodoh untuk meninggal di malam hari. Sangat bodoh.
Komentar
Posting Komentar