Langsung ke konten utama

Pengaruh

8/10/2019

Everything went by real quick.

Aku hari ini libur kerja. Sebuah keputusan terbaik, mungkin, yang aku buat minggu ini.
I got plenty of time to do anything I want.

Hari ini, aku pergi ke rumah Mina hanya untuk ngeprint dan fotocopy saja. Ini sebuah kegiatan yang sedikit tidak tahu diri tapi sangat lumrah terjadi dalam lingkup  pertemanan kami berempat. Sangat bersyukur bisa mampir untuk jangka waktu yang cukup meski tidak terlalu lama. Karena akhirnya aku bisa dengar cerita kehidupannya. Mungkin dia sendiri juga sudah bingung mau cerita ke siapa karena belakangan kami semua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Semoga kehadiranku tadi dapat meringankan pikiran dan hatinya dari keluh kesah. Sebuah keputusan yang baik pertama di hari ini.

Selepas dari rumah Mina, aku beranjak ke kampus untuk antri, ehm, pengambilan rekening beasiswa. Tentu saja bersama sobat kampus Wen Mahatma. Melalui antrian yang cukup panjang, kami akhirnya berhasil mendapatkan buku tabungan dan memutuskan untuk makan sushi di Transmart MX. Sebuah keputusan yang baik kedua di hari ini. Meski tentu saja disertai keputusan yang buruk pertama, membeli minuman susu bergula aren yang membuat tenggorokanku sekarang nyut nyutan.

Dora menungguku di Con Panna. Aku berpanas-panasan ke Con Panna demi mendapatkan free flow Kopi Ijo favoritku tapi kandas karena ternyata pas sudah sampai aku lebih ingin teh hijau. Pertemuan ini merupakan keputusan terbaik ketiga hari ini. Kevin datang tidak lama kemudian. Berbekal satu gelas masing-masing kami mulai membahas zodiak dan berbagai karakter manusia.

Setelah bercengkrama cukup lama, kami mulai membanding-bandingkan diri dengan teman-teman di lingkungan sekitar. Ternyata nyali yang ciut dan kepercayaan diri yang rendah tidak kualami sendiri, Dora dan Kevin juga merasakannya. Namun, satu yang kami sepakati, kami memang tidak seharusnya membandingkan diri dengan kehidupan orang lain. Kami hanya harus membandingkan diri dengan kehidupan kami di masa lampau.

Kami bersepakat pula bahwa meski kami ini mungkin tidak seperti yang lain, namun tetap ada pencapaian yang telah kami peroleh dalam hidup. Iya juga ya, setelah aku pikir-pikir lagi, aku ini sudah menjadi pribadi yang aku inginkan ketika aku SMA.

Aku dulu waktu SMA suka berandai-andai bisa beli apapun yang aku butuhkan tanpa mikir uang berapa dan bisa belikan kado teman-temanku tanpa mikir mau pakai uang apa dan dapat uang lagi darimana. Sekarang aku sudah sampai di fase itu.

Aku juga dulu pernah berpikir untuk punya kehidupan yang sibuk dan hanya pulang untuk tidur dan bersantai. Sekarang aku juga sudah sampai di fase itu.

Tapi salah satu kekhawatiranku adalah bagaimana pendidikanku kok serasa mandheg di fase laporan magang ini.

Aku sampai mengemukakan kepada Dora dan Kevin, apa keputusanku untuk bekerja semenjak aku kuliah adalah keputusan yang salah ya? Kok seolah aku kecemplung di dalamnya?
I feel like I'm drowning under my own choice.

Pertanyaan ini yang kemudian membuka diskusi kami terkait halo effect yang terjadi dalam lingkup pertemanan kami. Khususnya mungkin aku, Dora dan Kevin.

Aku berteman dengan Dora semenjak SMP dan Kevin pacaran dengan Dora sejak Dora SMA kelas dua (kalo nggak salah).

Semenjak kuliah, aku kerja. Teman-temanku tentu saja masih menjajaki dunia perkuliahan yang sibuk dan banyak kelas. Aku kerja dan kuliah, menyebabkan jarang punya waktu untuk berkumpul dengan mereka dan bertukar kabar. Pada saat itu kami sama-sama sibuk jadi tidak masalah. Waktu berjalan hingga akhirnya aku berhenti bekerja.

Pada saat aku memutuskan untuk bekerja kembali, industri perkopian Kota Malang mulai berkembang secara sporadis.

Tentu saja dibarengi oleh kebutuhan SDM yang mumpuni.

Dora pada saat itu akhirnya memutuskan untuk mendaftar pada salah satu kedai kopi, dan diterima.

Singkat cerita, aku bekerja, begitu pula Dora.

Pada percakapan tadi aku merasa bahwa aku hanya melakukan segala hal seperti yang sudah semestinya sesuai dengan tujuanku. Tapi, ketika aku sudah melakukannya, aku tidak kunjung mendapatkan tujuanku. Sementara, teman-temanku yang mulai setelahku sudah mulai mencapai fase yang mereka inginkan. Ini yang menjadi beban pikiranku beberapa bulan ini, aku tidak berada dalam fase yang sama dengan mereka.

Namun, menurut Dora, terdapat banyak hal yang terjadi dan saling berkaitan semenjak aku bekerja.

Usut punya usut, Dora diterima bekerja di sebuah kedai kopi karena kedai tersebut mengetahui informasi bahwa Dora adalah temanku. Tentu saja, melihat kancahku di bidang pelayanan ini, mereka tertarik untuk merekrut Dora. Logika yang mereka gunakan adalah aku dan Dora berteman baik, sehingga mungkin kami tidak jauh berbeda. Mereka tidak salah.

Karena Dora bekerja di kedai tersebut, Kevin jadi suka kesana. Meski awalnya berniat karena bucin, namun akhirnya Kevin punya banyak teman disana dan bahkan setelah Dora tidak lagi bekerja disana Kevin tetap setia menyatroni kedai tersebut.

Pengaruh yang timbul karena aku memutuskan untuk bekerja di awal masa kuliah ini ternyata tidak sesempit bayanganku. Mungkin, ada juga pengaruh-pengaruh lain yang belum aku sadari.

Life is never that simple.

Melalui temuan kami siang ini, Aku merasa bahwa tidak seharusnya aku merasa diriku kecil dan tidak melakukan apa-apa. Evaluasi penting untuk berbenah, berproses memang tidak bisa instan. Kerap kali aku sedih dan bertanya-tanya sebenarnya bagian mana yang salah aku lakukan hingga aku bisa sampai di titik ini. Tapi setelah ditelaah kembali, titik ini juga tidak jelek-jelek amat.

Semoga aku terus merasa bahwa segala aspek yang ada di dunia ini saling berkaitan dan aku tidak pernah berhenti berusaha.


ps: Kevin akhirnya percaya bahwa karakter manusia berdasarkan zodiak cukup akurat untuk memprediksi pola komunikasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...