Kamu berubah. Kamu tidak pernah berteriak kepadaku.
Kamu berubah, atau mungkin kamu hanya menjadi dirimu sendiri. Aku berdiri dalam
keheningan yang kuciptakan sendiri. Keheningan yang terlalu ramai untuk seorang
Aku. Seorang yang mencintai keramaian namun dengan mahirnya menciptakan
keheningan. Mungkin selama ini Aku tidak mencintai keramaian, Aku mencintaimu.
Kedua kelopak mataku mengerjap memandang langit-langit kamar tempat dimana kita
pernah berbaring, berdua, dengan kepalamu berada di lengan kananku. Selalu ada
percakapan di antara kita, terlalu banyak hal yang telah didengarkan
langit-langit kamar ini, dari angan hingga desahan. Mungkin Aku masih belum
percaya bahwa tidak lagi ada kita, kini hanya ada Aku kembali. Aku dan hanya
Aku, sebagaimana sebelumnya tanpa kamu. Aku yang hanya menyunggingkan senyum
kecut pada segala hal yang lucu bagi mereka, Aku hanya tersenyum, masam,
semasam jeruk muda di kebun ibu yang dulu pernah kita petik berdua.
Langit malam ini tidak seindah langit malam ketika
Aku melewatkan malam-malam bersamamu. Langit malam ini berawan, dengan sedikit
gemuruh sebagaimana hatiku yang sedari tadi rewel tak ingin cerah. Malam ini,
mungkin kehadirannya telah menggantikan kehadiranku. Aku mengerti bila kamu
merindukan kehangatan seorang yang bukan Aku. Aku cukup mengerti bila lengan
ini tak cukup untuk mendekapmu lebih erat. Aku mengerti bila rasa yang dulu
kita bangun bersama telah bubar sebagaimana percakapan kita kian lantang di
malam terakhir kamu mencoba untuk tidur di kamar ini. Aku sangat mengerti bila
pada akhirnya kamu akan bertemu dengan seorang yang baru dan aku harus
berpura-pura bahagia bersamamu. Sebagaimana sejak dulu, kamu berpura-pura
bahagia dengan seorang Aku. Kini Aku tahu jawaban dari setiap diam yang kamu hadirkan
dari setiap pertanyaanku tentang masa depan kita, mungkin kamu disergap rasa
bersalah terhadap diri sendiri dan seorang Aku. Mungkin pikiranmu telah
dihantui bayang-bayangnya yang jelas lebih menghangatkan hatimu ketimbang Aku. Aku,
seorang yang mencintai keramaian namun dengan mahirnya menciptakan keheningan.
Seprei di kamar kita dulu, perlahan mulai
menguning. Mungkin terlalu lama tak dicuci, terlalu bosan dan gerah terhadap
tangis dari seorang Aku. Mungkin Ia tak lagi sabar hingga menguningkan diri
agar segera dibuang, seperti halnya Aku. Kamu bilang tidak ada yang bisa
menggantikan Aku, meski suatu saat ada yang baru. Menurutmu cinta tak pernah
berganti, cinta hanya bertambah. Dahulu, tiap seminggu sekali, kamu selalu
disibukkan oleh kegiatan mengusir seorang Aku pada sebuah pagi dihari Minggu.
Sebab dari kesibukan itu ialah kamu bersikeras percaya bahwa seprei menunjukkan
martabat kita sebagai manusia yang mencintai diri sendiri.
Menurutku, teori ini tak masuk akal. Aku hanya
menghabiskan 3 jam di tempat tidur tiap malam, akan lebih lama bila bersamamu,
apa yang dapat Ia interpretasikan dari seorang yang hanya bertemu dengannya
selama tiga jam setiap malam? Aku bahkan tak berbicara padanya. Ketika kamu
mulai berceramah soal seprei yang harus diganti tiap seminggu sekali, Aku
selalu berusaha menghentikanmu seperti halnya seorang jamaah sholat jumat yang
berusaha menghindar dari khotbah. Ah, Aku jadi ingat, alasan itu yang membuatmu
meninggalkanku. Aku tak pernah mendengarkan. Menurutmu, belum waktunya Aku untuk
bersanding dengan orang lain selain egoku. Haha, alasan yang dibuat-buat.
Mungkin di luar sana, sudah ada laki-laki lain yang dengan senang hati tak
hanya bangun dari tempat tidur ketika kamu mengganti seprei, namun juga
membantumu memasang seprei yang baru.
Komentar
Posting Komentar