Langsung ke konten utama

Ritual Mengganti Seprei (him)


Kamu berubah. Kamu tidak pernah berteriak kepadaku. Kamu berubah, atau mungkin kamu hanya menjadi dirimu sendiri. Aku berdiri dalam keheningan yang kuciptakan sendiri. Keheningan yang terlalu ramai untuk seorang Aku. Seorang yang mencintai keramaian namun dengan mahirnya menciptakan keheningan. Mungkin selama ini Aku tidak mencintai keramaian, Aku mencintaimu. Kedua kelopak mataku mengerjap memandang langit-langit kamar tempat dimana kita pernah berbaring, berdua, dengan kepalamu berada di lengan kananku. Selalu ada percakapan di antara kita, terlalu banyak hal yang telah didengarkan langit-langit kamar ini, dari angan hingga desahan. Mungkin Aku masih belum percaya bahwa tidak lagi ada kita, kini hanya ada Aku kembali. Aku dan hanya Aku, sebagaimana sebelumnya tanpa kamu. Aku yang hanya menyunggingkan senyum kecut pada segala hal yang lucu bagi mereka, Aku hanya tersenyum, masam, semasam jeruk muda di kebun ibu yang dulu pernah kita petik berdua.
Langit malam ini tidak seindah langit malam ketika Aku melewatkan malam-malam bersamamu. Langit malam ini berawan, dengan sedikit gemuruh sebagaimana hatiku yang sedari tadi rewel tak ingin cerah. Malam ini, mungkin kehadirannya telah menggantikan kehadiranku. Aku mengerti bila kamu merindukan kehangatan seorang yang bukan Aku. Aku cukup mengerti bila lengan ini tak cukup untuk mendekapmu lebih erat. Aku mengerti bila rasa yang dulu kita bangun bersama telah bubar sebagaimana percakapan kita kian lantang di malam terakhir kamu mencoba untuk tidur di kamar ini. Aku sangat mengerti bila pada akhirnya kamu akan bertemu dengan seorang yang baru dan aku harus berpura-pura bahagia bersamamu. Sebagaimana sejak dulu, kamu berpura-pura bahagia dengan seorang Aku. Kini Aku tahu jawaban dari setiap diam yang kamu hadirkan dari setiap pertanyaanku tentang masa depan kita, mungkin kamu disergap rasa bersalah terhadap diri sendiri dan seorang Aku. Mungkin pikiranmu telah dihantui bayang-bayangnya yang jelas lebih menghangatkan hatimu ketimbang Aku. Aku, seorang yang mencintai keramaian namun dengan mahirnya menciptakan keheningan.
Seprei di kamar kita dulu, perlahan mulai menguning. Mungkin terlalu lama tak dicuci, terlalu bosan dan gerah terhadap tangis dari seorang Aku. Mungkin Ia tak lagi sabar hingga menguningkan diri agar segera dibuang, seperti halnya Aku. Kamu bilang tidak ada yang bisa menggantikan Aku, meski suatu saat ada yang baru. Menurutmu cinta tak pernah berganti, cinta hanya bertambah. Dahulu, tiap seminggu sekali, kamu selalu disibukkan oleh kegiatan mengusir seorang Aku pada sebuah pagi dihari Minggu. Sebab dari kesibukan itu ialah kamu bersikeras percaya bahwa seprei menunjukkan martabat kita sebagai manusia yang mencintai diri sendiri.
Menurutku, teori ini tak masuk akal. Aku hanya menghabiskan 3 jam di tempat tidur tiap malam, akan lebih lama bila bersamamu, apa yang dapat Ia interpretasikan dari seorang yang hanya bertemu dengannya selama tiga jam setiap malam? Aku bahkan tak berbicara padanya. Ketika kamu mulai berceramah soal seprei yang harus diganti tiap seminggu sekali, Aku selalu berusaha menghentikanmu seperti halnya seorang jamaah sholat jumat yang berusaha menghindar dari khotbah. Ah, Aku jadi ingat, alasan itu yang membuatmu meninggalkanku. Aku tak pernah mendengarkan. Menurutmu, belum waktunya Aku untuk bersanding dengan orang lain selain egoku. Haha, alasan yang dibuat-buat. Mungkin di luar sana, sudah ada laki-laki lain yang dengan senang hati tak hanya bangun dari tempat tidur ketika kamu mengganti seprei, namun juga membantumu memasang seprei yang baru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...