Langsung ke konten utama

Tidak Menemui Rumah

Aku menahan diri untuk tidak pernah pulang. Meski gundah menyerang dan tangis berderai, aku tidak pernah pulang. Meski rintik mulai turun dan langit bergemuruh, aku tidak pernah pulang. Pulang hanya akan menahan langkahku lebih lambat dan tak kunjung beranjak. Aku tidak mau dan tidak pernah pulang. Aku tidak ingin pulang kepada sajak-sajak yang tak selesai. Aku tidak ingin pulang pada kekacauan yang urung aku akui. Aku tidak ingin pulang pada jernih yang kuperkeruh. Aku tidak ingin pulang pada penantian yang tidak aku nantikan. Aku tidak ingin pulang pada tempat yang terus mendorongku untuk menggelengkan kepala pada apa-apa yang aku inginkan. Aku tidak ingin pulang pada suara yang kerap memekik. Aku tidak ingin pulang dan menemui sudut-sudut yang tak kunjung rampung dibenahi. Pulang hanya akan membuatku terpekur dan memeluk luka-luka yang aku ciptakan sendiri. Menjadi orang lain yang menyalahi nurani, menjerumuskanku pada patah hati yang sepatah-patahnya. Apabila pergi membuatku lebih mencintai diri, maka mengapa aku harus pulang? Bahkan rumah bukan kata yang tepat kusebut sebagai tujuan. Apabila pulang hanya akan menambah amarah pada sorot mata yang selalu coba aku teduhkan, maka mengapa aku harus pulang? Apabila pulang hanya meredam yang seharusnya aku ungkap, maka mengapa aku harus pulang? Rutinitas tidak membuatku bosan, namun dibungkam hampir membuatku tak bernafas. Kuselipkan rindu pada diriku yang dulu, yang aku tinggalkan, dalam tiap potong sayuran yang aku masak dan mereka makan. Seperti kenyataan, mereka mengunyah dan menelannya lalu berlalu seperti tak ada yang pernah terjadi. Mencuci baju dan piring bukan hal yang sulit apabila dalam tiap air yang terbuang tidak turut larut bagian diri yang dulu sempat teguh aku perjuangkan. Letih bukan suatu yang abadi, namun tetapkah harus aku pulang ketika bahkan tidurku tak pernah menemui lelap? Maka bolehkah masih kusebut rumah apabila kembaliku padanya membuat tiap tarikan nafas terasa lebih mencekat? Tidak lagi ada ruang untuk aku mengistirahatkan resah. Gundah terus menggelayut pada lenganku. Lengan yang senantiasa aku perkuat peluknya demi anak-anak yang ingin aku lahirkan. Mungkin mereka akan mulai mengenal kasih dalam tiap rengkuhnya. Namun, masihkah kiranya mereka ingin tumbuh dalam diri seorang yang bahkan tak berani pulang? Aku kembali hilang tepat ketika aku telah menemukan apa yang aku cari. Secara kebetulan, jemariku terhenti pada selembar halaman, seolah ramalan yang dengan cekatan menangkap keraguanku, ini persimpangan terakhir yang akan aku lalui, tertulis di dalamnya. Tidak akan menemui apa-apa, tambahan dari kalimat terakhir yang aku baca. Baris-baris yang tersedia mulai terisi penuh, namun aku masih tidak ingin pulang. Sepi mulai menyergap, namun aku terus mencari pelarian. Aku tidak pernah menyerah namun tak juga berhenti berpasrah. Aku selalu berpegang pada keyakinan bahwa yang aku percayai adalah baik dan segala yang baik akan menemui jalan. Maka aku terus melangkah. Hujan tak memerdulikan jemariku yang memucat, menggenapi tubuhku yang menggigil kedinginan. Terus turun makin deras, menggerus sedikit demi sedikit diriku yang kini tersisa setengah. Pulang bukan jawaban apabila kehadiranku hanya membuat susah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...