Langsung ke konten utama
sangat sulit untuk aku mulai kembali menulis beberapa bulan ini. mungkin aku terlalu bahagia. maka hari ini kutekadkan diriku untuk menjadi lebih sedih, entah dengan cara apa. mungkin dengan cara bangun lebih pagi dan tetap bergelung dalam selimut hingga ibuku memekik, mengutuk perilaku malasku. label malas yang ditancapkannya padaku dan lengking suaranya mungkin bisa membuatku sedih setidaknya untuk beberapa jam ke depan. beberapa jam hingga aku sudah tuntas menyelesaikan kewajibanku di rumah: menyapu, mengepel, menyisir kucing, merapikan kamar tidur, mencuci, menjemur baju dan mengantar ibuku bekerja. setelahnya, mungkin aku bisa bersedih dengan cara pergi ke kedai kopi tempat aku biasa menghabiskan waktu luang. menyaksikan orang-orang bercengkrama, tertawa, sementara aku sendiri mengurung diri, mencoba untuk bersedih, mungkin bisa membuatku lebih sedih. menyaksikan pasangan yang terlihat asing bermesraan di depanku, tak menganggapku ada, mungkin bisa membuatku lebih sedih. setelah mandi dan sedikit mematut diri di depan cermin, aku berangkat menuju kedai kopi itu. melihat pintu kedai yang belum sepenuhnya terbuka, aku berkesimpulan bahwa aku merupakan pelanggan pertama. senyum kaku pegawai kedai yang menyambutku, senyum antara senang dan malas. duh kenapa harus sepagi ini sih, begitu mungkin batinnya. sedikit sedih aku membuat paginya dimulai terlalu awal, sedikit tips mungkin bisa mengobati keengganannya. setelah memesan segelas kopi dingin, perlahan kusiapkan komputer jinjing di hadapanku. belum ada hal yang melintas di pikiran, tapi ada baiknya selalu bersiap agar tak semakin banyak ide yang terlewat. sedih, sedih, sedih. aku fokus untuk bersedih. setelah satu jam duduk terpekur, aku mulai menulis. aku menulis tentang perpisahan, kekecewaan, rindu, cinta yang bertepuk sebelah tangan dan banyak lagi hal lain. beberapa paragraf tertulis dan aku masih belum menemukan diriku kembali. menulis mungkin salah satu dari banyak hal yang bisa membuatku kembali pada kewarasan, aku tidak ingin kehilangan diriku lagi. apapun akan aku lakukan meski harus memeras perasaan sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...