Langsung ke konten utama

Pak Jokowi: Kerja, Kerja, Kerja!

Halo hanya longgoh. Kembali dalam sesi menjadi sok tahu bersama michiko.
YANG INI AKU BAKAL SOK TAU BANGET NIH REK DISIMAK BAIK-BAIK YAH. 

Sebelumnya, akan Aku jelaskan situasiku disini mengapa Aku kok berani membuat posting yang seolah maha benar ini, padahal nggak juga. Aku mulai bekerja aktif sejak semester satu which means ketika Aku mulai kuliah, pada hari itu juga Aku mulai bekerja. Jadi ya... mungkin ini kurang relatable dengan kalian yang ingin mulai bekerja ketika kuliah sudah berjalan sekian semester, but that is not the point, anyway. Dalam posting ini Aku ingin memberikan kalian clue saja sebenarnya apa yang akan kalian hadapi ketika kalian memutuskan untuk bekerja sembari berpendidikan.

Ketika kalian memutuskan untuk bekerja sembari kuliah, pastikan jadwal kuliah kalian sinkron dengan jadwal bekerja. Dulu, waktu semester pertama, kuliahku mulai jam 9.40 dan berakhir pukul 17.30 sedangkan jam kerjaku dulu mulai jam 14.00 hingga 00.00 (bisa lebih), per shiftnya 5 jam. Sehingga, Aku bisa kerja selepasnya. Biasanya, kalau kalian memutuskan untuk bekerja paruh waktu, waktu yang harus kalian luangkan dalam satu hari sekitar 5-6 jam, itu udah termasuk dengan perjalanan ke tempat kerja dari kampus atau rumah tanpa mandi (kecuali kalian mandinya cepat). Ada beberapa jadwal kuliah Aku yang memang sangat nggak cocok dengan jadwal kerjaku, sehingga pada hari itu Aku harus libur kerja dan mengikuti kuliah. Aku pada awalnya agak keberatan karena ada satu hari dimana Aku kuliahnya dari 9.40 sampai 17.30, tapi balik lagi, Aku udah komitmen sehingga pada hari dimana Aku libur kerja, Aku nggak bisa sepenuhnya libur karena harus kuliah.

Selain menyisihkan waktu dan tenaga, ada baiknya kalian juga menetapkan niat. Okay aku paham kalian berusaha bikin CV, cari kerja, tetap kuliah dan senangnya kalian akhirrnya keterima kerja. Which is menurutku itu sudah merefleksikan niat kalian untuk bekerja. Nah tapi setelah jangka waktu sekian lama, semangat kalian ini bisa luntur juga. Pada saat itulah kalian perlu kembali menetapkan niat. Kalo Aku dulu, menetapkan niat bahwa Aku ingin  banyak belajar dan membiayai keinginanku dengan uang hasil kerja kerasku sendiri. Dan niat itu juga nggak berhenti ketika Aku berhenti bekerja, bahkan hingga hari ini dimana Aku kerjanya freelance tapi niat itu tetap kasih Aku semangat. Karena, sebetulnya yang capek itu bukan jam kerjanya atau tenaganya. ADAPTASINYA ITU LOH. Adaptasi di lingkungan, adaptasi di cara kerja tubuh, adaptasi dalam segala bidang, and it IS exhausting. Jadi tetapkan dulu niat kalian itu buat apa dan jadikan itu pegangan buat kalian menjalani pekerjaan kalian nanti.

Selanjutnya aku akan ngomong soal prioritas, ehem. Mungkin agak sulit bagi kalian untuk menerima pernyataan berikut ini, tapi menurut aku harus ada pihak yang dikorbankan dan ada pihak yang diprioritaskan. Contoh nih ya, ketika aku kerja dulu, aku mengorbankan kehidupan sosialku, literally semua kehidupan sosial dari temen SMP, SMA sampe kuliah. Aku udah jarang banget kumpul dan sekalinya kumpul mungkin cuma bentar, atau ya ngumpul tapi aku ajak mereka ke tempat kerjaku dan aku tinggal kerja (aku part-time di cafe). Prioritasku disini keluarga, jadi ketika aku punya waktu luang dan aku harus memilih keluar sama keluarga atau temen ya aku memilih keluar sama keluarga. Pertimbangan aku disini adalah karena temen-temenku masih bisa nongkrong sama aku di tempat kerjaku, sedangkan keluargaku belum tentu bisa. Kalo kalian bisa bagi waktu ya bagus tapi kalo emang kalian udah keteteran banget, apalagi yang banyak tugas dan harus belajar buat quiz, nggak usah memaksakan diri karena kalian nggak ada kewajiban untuk please everybody, hehe.

MUNGKIN SEMENTARA ITU DULU YAH.
Ini jadi ceritanya posting ini tuh aku nyicil gitu nulisnya, trus di bagian terakhir-terakhir aku udah mulai merasa sangat sok tau tapi yaudah yah, semoga menjadi pertimbangan dan manfaat bagi kalian ketika ingin memutuskan untuk bekerja sembari kuliah.
ehe. semangat all.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...