Langsung ke konten utama

Sebuah Kota yang Besar dan Modern

Pada sebuah kota yang besar dan modern, merindukan Aku menjadi sesuatu yang asing bagimu. Merindukan Aku menjadi sesuatu yang aneh untukmu, Tidak membuatmu terganggu, tidak juga membuatmu kembali mau. Aneh, sepertiku. Pada suatu kota yang besar dan modern, dalam sebuah percakapan dengan Ibu melalui telepon selulermu, kamu merindukan Aku. Pada saat itu, kamu merasa bahwa merindukan Aku adalah kebiasaan yang tidak sehat dan harus segera dihentikan. Kamu hanya belum tahu, kamu kecanduan Aku. Pada sebuah kota yang besar dan modern, kamu lulus dari perguruan tinggi dan kawin dengan rekan kerjamu. Kalian membangun karir dan beranak pinak dalam sebuah kota yang tidak ramah, namun tidak membuatmu kunjung beranjak. Kalian bermukim di sebuah kota yang besar dan modern, bekerja, mencari bahagia, bercinta. Lalu pada sebuah malam, setelah istrimu melenguh lega, kamu mulai kembali merindukan Aku. Pada sebuah kota yang besar dan modern, setelah membacakan dongeng pada anakmu dan mengantar mereka tidur, kamu merindukan Aku. Rasa bersalah menyelimutimu, namun ada rasa nyaman dari merindukan Aku. Pada sebuah kota yang besar dan modern, kamu bersiap untuk terlelap, menggosok gigi dan mencuci kaki. Lelah menyelimuti ragamu, namun kedua matamu tak kunjung terpejam. Memorimu berjalan jauh, menemui seorang Aku. Pada sebuah kota yang besar dan modern, kamu merindukan Aku, terus dan terus. Kamu merindukan Aku hingga rindumu lelah melihat dirinya sendiri di cermin bayang-bayangku. Pada sebuah kota yang besar dan modern, jiwamu melelah dan merindukan Aku. Satu-satunya kenangan akan masa mudamu, mimpi-mimpimu, kekasihmu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...