Langsung ke konten utama

kesepian

pada suatu pagi yang ramai, aku kesepian. aku bangun, mandi dan sarapan. sepeda motor aku nyalakan, lalu tancap gas. menuju sebuah rumah yang kecil dan sederhana, tempat Ia tinggal dan masih terlelap. aku masuk dengan kunci cadangan yang Ia berikan, serta merta masuk ke kamar dan beranjak ke pelukannya, kehangatan. tidurnya begitu lelap, namun Ia beringsut mundur dengan mata masih terpejam, memutuskan untuk terlelap sendiri tanpa memeluk aku. mungkin hari ini bukan hari yang tepat untuk aku meredakan kesepian dengan kehangatan, ku putuskan untuk kembali berdiri dan meninggalkannya yang masih pulas.

deru motorku perlahan menguar ketika memasuki pelataran parkir sebuah kedai kopi kecil di kota yang sempit ini, aku masuk ke dalamnya dengan hati yang telah sedikit terobati. aroma kopi menyeruak memasuki relung-relung nafasku. aku memesan segelas es kopi untuk mendinginkan kepala yang panas, aku lupa hatiku telah terlalu dingin. sesap demi sesap kureguk, tak terasa telah satu jam aku termenung. memikirkan entah apa, memutuskan entah apa, hal-hal yang sifatnya wacana dan kegelisahan sementara. aku memutuskan untuk menghabiskan satu jam lagi disana dan kembali menyusuri jalan raya. mungkin hari ini bukan hari yang tepat untuk meredakan kesepian dengan kegetiran.

nafasku terasa berat tiap aku datang ke tempat ini. tempat aku pernah mengampu tiga tahun terbaik hidupku. manis pahit kisah masa muda yang terjalin dengan baik dan cepat-cepat aku simpan rapat-rapat. aku tahu suatu saat aku akan membutuhkannya. langkahku perlahan menyusuri lorong-lorong yang lengang, memori perlahan mendorongku untuk kembali pada masa dimana ragaku masih muda belia dan abdiku masih pada kecintaan terhadap diri sendiri. kenangan kian mengalir deras di kepalaku seiring dengan ujung jariku yang menyentuh dinding-dinding saksi bisu, rindu. ini bukan sepi, ini rindu.

disini aku pernah menari, disana aku pernah menangis tergugu, dan tidak satupun dari itu yang menjadi sesal bagiku. hal yang aku cinta dan aku benci melebur menjadi satu hingga tidak lagi ada hitam dan putih melainkan hanya abu-abu. perlahan air mata menetes setitik demi setitik dari pelupuk mataku, dadaku terasa sesak. ada perasaan hangat yang menjalar di tubuhku.
akhirnya aku tidak lagi kesepian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...