pada suatu pagi yang ramai, aku kesepian. aku bangun, mandi dan sarapan. sepeda motor aku nyalakan, lalu tancap gas. menuju sebuah rumah yang kecil dan sederhana, tempat Ia tinggal dan masih terlelap. aku masuk dengan kunci cadangan yang Ia berikan, serta merta masuk ke kamar dan beranjak ke pelukannya, kehangatan. tidurnya begitu lelap, namun Ia beringsut mundur dengan mata masih terpejam, memutuskan untuk terlelap sendiri tanpa memeluk aku. mungkin hari ini bukan hari yang tepat untuk aku meredakan kesepian dengan kehangatan, ku putuskan untuk kembali berdiri dan meninggalkannya yang masih pulas.
deru motorku perlahan menguar ketika memasuki pelataran parkir sebuah kedai kopi kecil di kota yang sempit ini, aku masuk ke dalamnya dengan hati yang telah sedikit terobati. aroma kopi menyeruak memasuki relung-relung nafasku. aku memesan segelas es kopi untuk mendinginkan kepala yang panas, aku lupa hatiku telah terlalu dingin. sesap demi sesap kureguk, tak terasa telah satu jam aku termenung. memikirkan entah apa, memutuskan entah apa, hal-hal yang sifatnya wacana dan kegelisahan sementara. aku memutuskan untuk menghabiskan satu jam lagi disana dan kembali menyusuri jalan raya. mungkin hari ini bukan hari yang tepat untuk meredakan kesepian dengan kegetiran.
nafasku terasa berat tiap aku datang ke tempat ini. tempat aku pernah mengampu tiga tahun terbaik hidupku. manis pahit kisah masa muda yang terjalin dengan baik dan cepat-cepat aku simpan rapat-rapat. aku tahu suatu saat aku akan membutuhkannya. langkahku perlahan menyusuri lorong-lorong yang lengang, memori perlahan mendorongku untuk kembali pada masa dimana ragaku masih muda belia dan abdiku masih pada kecintaan terhadap diri sendiri. kenangan kian mengalir deras di kepalaku seiring dengan ujung jariku yang menyentuh dinding-dinding saksi bisu, rindu. ini bukan sepi, ini rindu.
disini aku pernah menari, disana aku pernah menangis tergugu, dan tidak satupun dari itu yang menjadi sesal bagiku. hal yang aku cinta dan aku benci melebur menjadi satu hingga tidak lagi ada hitam dan putih melainkan hanya abu-abu. perlahan air mata menetes setitik demi setitik dari pelupuk mataku, dadaku terasa sesak. ada perasaan hangat yang menjalar di tubuhku.
akhirnya aku tidak lagi kesepian.
deru motorku perlahan menguar ketika memasuki pelataran parkir sebuah kedai kopi kecil di kota yang sempit ini, aku masuk ke dalamnya dengan hati yang telah sedikit terobati. aroma kopi menyeruak memasuki relung-relung nafasku. aku memesan segelas es kopi untuk mendinginkan kepala yang panas, aku lupa hatiku telah terlalu dingin. sesap demi sesap kureguk, tak terasa telah satu jam aku termenung. memikirkan entah apa, memutuskan entah apa, hal-hal yang sifatnya wacana dan kegelisahan sementara. aku memutuskan untuk menghabiskan satu jam lagi disana dan kembali menyusuri jalan raya. mungkin hari ini bukan hari yang tepat untuk meredakan kesepian dengan kegetiran.
nafasku terasa berat tiap aku datang ke tempat ini. tempat aku pernah mengampu tiga tahun terbaik hidupku. manis pahit kisah masa muda yang terjalin dengan baik dan cepat-cepat aku simpan rapat-rapat. aku tahu suatu saat aku akan membutuhkannya. langkahku perlahan menyusuri lorong-lorong yang lengang, memori perlahan mendorongku untuk kembali pada masa dimana ragaku masih muda belia dan abdiku masih pada kecintaan terhadap diri sendiri. kenangan kian mengalir deras di kepalaku seiring dengan ujung jariku yang menyentuh dinding-dinding saksi bisu, rindu. ini bukan sepi, ini rindu.
disini aku pernah menari, disana aku pernah menangis tergugu, dan tidak satupun dari itu yang menjadi sesal bagiku. hal yang aku cinta dan aku benci melebur menjadi satu hingga tidak lagi ada hitam dan putih melainkan hanya abu-abu. perlahan air mata menetes setitik demi setitik dari pelupuk mataku, dadaku terasa sesak. ada perasaan hangat yang menjalar di tubuhku.
akhirnya aku tidak lagi kesepian.
Komentar
Posting Komentar