Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia lain, kamu menengadah memandang langit-langit ruang tidurmu sembari secara sembunyi-sembunyi merindukan Aku. Merindukan aku di bawah kesepianmu dan menduga-duga apakah Aku juga merindukanmu. Kembali menimbang-nimbang apakah meninggalkanku adalah keputusan yang tepat. Mencoba mencuri satu alasan untuk tidak meninggalkanku, namun kamu gagal. Lalu kamu menarik selimut dan kembali pada kehidupanmu yang nyata. Meninggalkan kita untuk seorang di sebelahmu yang kamu jaga untuk tidak terjaga, persis seperti yang Aku lakukan. Namun dalam peluk selimutmu, kamu tidak kunjung merasa hangat. Karena peluk terhangatmu adalah pelukanku dan cinta kita yang menggelora. Cinta kita yang tabu dan malu-malu, tanpa rasa cemburu yang mengganggu. Cinta kita yang menggerakkan lenganmu untuk merengkuh bahuku yang tergugu. Menyerahkan Aku dan kerapuhanku.
Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...
Komentar
Posting Komentar