Malam ini terlalu romantis untuk tidak ditulis. Aku bilang bapak
ibukku untuk pergi keluar sebentar, Aku bilang ada perlu dengan seorang teman.
Mereka terlihat tidak senang, tapi Aku tidak peduli. Sebuah malam takbir, Aku
berkendara menuju sebuah kedai kopi kesukaanku. Sendirian, Aku mencoba menelaah
kembali apakah keputusanku untuk tidak pulang malam ini adalah keputusan yang
tepat. Satu-satunya pikiran yang coba Aku musnahkan. Selain pikiran tentang
kamu, tentunya.
Sedari
dulu, Aku tidak pernah menyebut kata pulang untuk benar-benar pulang. Aku hanya
kembali ke tempat Aku biasa tidur dan mandi, Aku bahkan tidak makan disana. Aku
belum benar-benar menemukan dan menentukan konsep rumah. Apakah rumahku adalah
seseorang atau hanya sebuah konsepsi untuk terus beralasan agar tidak kembali. Dalam
beberapa saat, biasanya Au muak dengan diriku sendiri dan memutuskan untuk
pergi, entah kemana. Aku selalu kembali meski tidak pernah berjanji.
Pada sebuah malam takbir, dalam pikiran untuk tidak pulang
beberapa hari, pikiran tentang kamu datang lagi. Menyongsong hari kemenangan
dengan merasa kalah. Memikirkan kamu selalu membuatku merasa bahwa Aku selalu
kalah, entah pada dunia, entah pada egoku sendiri. Bagaimana nalarku telah bekerja
namun hati berkata sebaliknya. Aku tidak seharusnya mengizinkan kamu untuk
barangkali hanya mampir, karena kamu tidak akan pernah pergi lagi. Mereka
bilang kamu adalah konsepku tentang rumah, seorang yang akan membuatku yakin
kemana Aku harus kembali. Mereka salah, Aku rumahmu. Kamu selalu kembali
padaku.
Takbir kian bergaung, secangkir kopi datang untuk menemaniku,
menambah keromantisan malam ini. Kamu tidak pernah suka kopi, kamu tidak
merokok, kamu tidak seromantis bayanganku tentang seorang laki-laki yang
nantinya akan berkesan. Kamu hanya menjadi sosok yang pura-pura mencintai Aku
sebesar Aku mencintai diriku sendiri. Perlahan jemariku mulai mengangkat pena
yang sedari tadi tergeletak di meja, menulis tentang kamu pada secarik tisu.
Dalam lamunanku, selalu ada kamu. Baris kian bertambah, huruf-huruf mengalir
begitu deras dalam tulisan-tulisanku.
Pada tanda tanya terakhir, Ia datang. Orang yang selalu memastikanku untuk kembali kepada kemanapun Aku harus pergi, untuk menemui orang tuaku atau menemuinya lagi. Aku melihatnya dari kejauhan
dan meremas tisu yang penuh dengan tulisan serta pertanyaan tentangmu.
Mengenakannya untuk menyerap keringat di dahiku, keringat kegelisahan, dilema
antara menginginkanmu kembali atau mengusirmu pergi. Aku tersenyum dan lantas
memeluknya erat, mengecup pipinya lembut dan beranjak ke kamar mandi untuk
menangis. Tidak menyadari gores pena yang tertempel dan tak sengaja Ia baca
dari dahiku, namamu.
FOLLOW ME ON MY NEW TWITTER @iwasmich FOR EVERYDAY GALAU THOUGHTS
Komentar
Posting Komentar