Langsung ke konten utama
menjadi penulis itu belajar jujur terhadap diri sendiri. tapi kalau dipikir-pikir lagi, jujur kepada diri sendiri itu, sakit ya. kelihatannya bahagia tapi sebenernya juga nggak sebahagia itu, sih. pasti ada suatu bagian diri yang terluka dan terabaikan. bahkan mungkin terlalu banyak yang sudah rusak dan terlupakan. takutnya, suatu saat bagian tersebut dari bumerang dan kembali menyerang kita sekuat-kuatnya. mau balas dendam, kira-kira.

aku ingin jadi penulis.
dulu ayah dan ibu mau aku jadi penulis, tapi aku nggak mau. aku bilang aku mau jadi sesuatu yang lebih berguna dan menjanjikan, aku merasa kurang bisa mengelola kreativitasku ketika jadwal sedang padat dan susah diatur. menjadi penulis mungkin bisa jadi hobi dan alternatif, tapi aku nggak mau menggantungkan seluruh aspek ekonomiku kepada bidang ini. I'm not a type of person who did everything in all or nothing way. sedangkan menurutku, menulis membutuhkan jiwa, raga dan seluruh indera untuk selalu prima dan peka terhadap segala suasana.

aku menulis kalau aku patah hati. aku menulis kalau aku jatuh cinta. aku menulis kalau aku butuh teman untuk bersandar dan hanya untuk sekedar berkeluh  kesah. aku menulis kalau... ya, kalau aku ingin aja. kalau aku merasa aku punya cerita untuk tokoh dalam ceritaku yang sudah lama dan terlupakan, kalau aku merasa ada plot yang menarik untuk diceritakan, kalau aku merasa punya cerita yang dimodifikasi dan diceritakan menjadi cerita yang baru. dulu seperti itu, kini aku menambahkan banyak memori dari apa yang ditangkap oleh panca inderaku. aku menulis ketika aku mencium wangi pelembut pakaian yang kusuka. aku menulis ketika telingaku mencuri dengar pernyataan atau pembicaraan yang menarik untuk disimak. aku menulis ketika tanganku mendadak lelah untuk menulis. aku menulis ketika kedua mataku menjamah apa yang seharusnya tidak ia jamah.

beberapa bulan ini, kesibukanku jadi luar biasa tidak terkontrol. aku kuliah, mengerjakan tugas, berdiskusi, bekerja dan tentunya mengatur jadwal untuk tetap bisa bersosialisasi. hidupku tidak bisa dibilang berantakan, aku menjadi diriku sendiri setelah sekian lama aku merasa hanya menjadi seonggok daging yang tak berguna, aku akhirnya berkegiatan sebagaimana yang dari dulu kuidam-idamkan. aku pulang hanya untuk makan, tidur dan mandi. aku sibuk, aku lelah tapi aku merasa seperti inilah seharusnya aku menjadi aku.

terlalu banyak hal yang tidak lagi bisa aku lakukan setelah kesibukan ini berjalan. aku rindu hanya di rumah seharian, belum mandi hingga jam menunjukkan pukul 2 siang, lalu menghabiskan malam di sebuah kedai kopi yang kini menjadi tempatku bekerja. satu lagi yang aku rindukan adalah menulis. rasanya tidak lagi ada pikiran yang tersisa untuk aku mencerna berbagai perasaan yang menggelora di dalam seorang aku. tidak lagi ada aku yang dengan romantisnya hanya duduk diam memerhatikan orang-orang di sekitarku. ketika aku pulang ke rumah, sudah tidak lagi ada energi yang tersisa. aku terlelap dan ide-ide yang berputar di kepalaku turut hilang ditelan mimpi.

aku mencoba menulis tadi malam. hingga jam 2 dini hari aku terjaga. merenung, memandang langit-langit kamar, mencoba menerka apa kelanjutan cerita pada salah satu cerpen yang inspirasinya merupakan salah satu kawanku yang entah bagaimana kabarnya sekarang. aku menulis dan terus menulis. aku baru sadar bahwa menulis satu-satunya hal yang membuatku tetap berjaga.

aku suka berjaga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...