Langsung ke konten utama

cara untuk mati dengan perih dan hina

Pada sebuah malam di bulan Juni, akhir bulan Ramadhan, aku menikmati bau kentut sendiri. Malam-malam dengan rintik hujan yang dikatakan orang-orang itu omong kosong, aku tidak perlu hujan untuk jadi romantis. Kamar 3x3 ini menjadi saksi bisu seorang aku berusaha menjadi tegar, seperti yang ku katakan pada teman-temanku, tidak kalah terhadap diri sendiri.

Beberapa menit lalu, aku masih menggilas jalanan kota Malang dengan sepeda motor beroda dua yang bannya baru saja diganti dua hari yang lalu. Perutku bergemuruh pertanda asam lambungku mulai naik dan pikiranku berkecamuk sibuk bertikai dengan hati yang tak mau kompromi. Kedua mataku yang fokus tertuju pada hal apapun yang berada di depanku, mencoba sekuat-kuatnya menahan air mata menitik di balik kacamata perdanaku.

Malam ini ia cukup menegaskan bahwa aku kurang dari cukup untuknya. Bahwa berpiring-piring nasi, bercangkir-cangkir kopi dan teh, bermalam-malam di ranjang dan obrolan tak kenal arah, jauh dari cukup untuk membuatnya merasa dicintai. Seharusnya aku tahu bahwa ia bukan tipe laki-laki yang banyak cakap hingga harusnya aku lebih lancang lagi untuk merangsak masuk ke hidupnya, membobol dinding yang ia bangun sendiri. Membatasi kami, antara aku dengan rahasia kecilnya yang kotor.

Aku mencoba selamat, akhirnya Aku sampai di depan rumah.


Bau kentut malam ini begitu istimewa karena merupakan pertanda bahwa aku masih hidup sehidup-hidupnya, entah apapun definisi dari hidup. Jalanan yang kulewati hanya berisi lamunan kosong, bukan lamunan, dramatisasi dari bagaimana cara aku mati di kemudian hari. Selepas sepeda motor kuparkir betul, aku masuk ke kamar dan kentut. Pada sebuah malam di bulan Juni, akhir bulan Ramadhan, aku memutuskan untuk mati karena menghirup bau kentut sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...