Pada sebuah malam di bulan Juni, akhir bulan Ramadhan, aku
menikmati bau kentut sendiri. Malam-malam dengan rintik hujan yang dikatakan
orang-orang itu omong kosong, aku tidak perlu hujan untuk jadi romantis. Kamar
3x3 ini menjadi saksi bisu seorang aku berusaha menjadi tegar, seperti yang ku
katakan pada teman-temanku, tidak kalah terhadap diri sendiri.
Beberapa menit lalu, aku masih menggilas jalanan kota Malang
dengan sepeda motor beroda dua yang bannya baru saja diganti dua hari yang
lalu. Perutku bergemuruh pertanda asam lambungku mulai naik dan pikiranku
berkecamuk sibuk bertikai dengan hati yang tak mau kompromi. Kedua mataku yang
fokus tertuju pada hal apapun yang berada di depanku, mencoba sekuat-kuatnya
menahan air mata menitik di balik kacamata perdanaku.
Malam ini ia cukup menegaskan bahwa aku kurang dari cukup
untuknya. Bahwa berpiring-piring nasi, bercangkir-cangkir kopi dan teh,
bermalam-malam di ranjang dan obrolan tak kenal arah, jauh dari cukup untuk
membuatnya merasa dicintai. Seharusnya aku tahu bahwa ia bukan tipe laki-laki
yang banyak cakap hingga harusnya aku lebih lancang lagi untuk merangsak masuk
ke hidupnya, membobol dinding yang ia bangun sendiri. Membatasi kami, antara
aku dengan rahasia kecilnya yang kotor.
Aku mencoba selamat, akhirnya Aku sampai di depan rumah.
Bau kentut malam ini begitu istimewa karena merupakan
pertanda bahwa aku masih hidup sehidup-hidupnya, entah apapun definisi dari
hidup. Jalanan yang kulewati hanya berisi lamunan kosong, bukan lamunan,
dramatisasi dari bagaimana cara aku mati di kemudian hari. Selepas sepeda motor
kuparkir betul, aku masuk ke kamar dan kentut. Pada sebuah malam di bulan Juni,
akhir bulan Ramadhan, aku memutuskan untuk mati karena menghirup bau kentut
sendiri.
Komentar
Posting Komentar