Langsung ke konten utama
we, people, grow up.

salah satu yang membuat kita sadar bahwa kita tumbuh adalah banyaknya fakta yang kita ketahui, atau pembahasan pada fakta yang kita ketahui. 
dulu waktu sd sih, fakta yang aku tahu bahwa si A suka sama si B, eh tapi jangan bilang anak-anak lain ya, aku takut nanti dia nggak mau duduk sebangku sama aku.
waktu smp, aku tahunya bahwa si A ini ternyata udah pacaran sama si B, tapi nggak mau publikasi, abis malu sama anak-anak. kan dia barusan putus, masa tiba-tiba udah gandeng yang baru? tapi ternyata dalam hubungan mereka yang terlihat bahagia dan sederhana, meski disembunyikan, si B ini nggak ada rasa. cuma nggak enak aja mau nggak nembak, udah deket lama sih.

tapi waktu SMA, things just got pretty serious.
let me get you some spoiler. wait up.


nih, this is one of my favorite short story, waktu itu nulisnya suka-suka. (plus I wrote it when I was 14 or 15)
jadi maafkan kalau ada tanda baca yang kurang maupun EYD yang tidak tepat.
mungkin waktu itu aku cuma takut untuk terjebak dalam hubungan yang kayak gitu.
mulai beranjak dewasa mulai paham bahwa nggak ada cinta tanpa nafsu, dan nggak ada nafsu tanpa cinta. at least, just a few hours until you reach orgasm.

tapi ternyata hal seperti itu emang ada, orang-orang yang mulai terjebak pada urusan bawah perut. orang-orang yang mengesampingkan segala momen istimewa untuk urusan bawah perut. my deepest dark fears is that my story became a reality. dan ternyata juga, cerita macam itu terjadi pada banyak hubungan yang pelakunya nggak jauh-jauh amat dari aku.

gila ya. 
we, grow up, people.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...