Langsung ke konten utama

Menunggu

aku jatuh cinta pada setiap keping kenangan yang kita kumpulkan bersama ketika uap dari kedua cangkir kopi kita mulai mengepul. lalu percik api dari korek di tangan kananmu menyulut anak-anaknya pada sebatang rokok yang telah tersisipkan di kedua belah bibirmu. jari telunjuk dan jari tengahmu telah bersiap mencabutnya segera setelah kamu hisap racun-racunnya. kamu berceloteh, seperti biasanya. telingaku bersukacita, baginya suaramu merupakan melodi terindah. hanya dengan kamu, aku bisa menjadi pendengar setia. mulutku, terkatup. rapat.
kisah-kisahmu mengalir deras, hingga detik menit jam terlewat dan aku masih termangu menyangkutkan daguku pada kedua telapak tangan yang senantiasa menyangga dengan tidak berat hati. kamu membuat aku terpaku. tahukah kamu aku tidak pernah sediam ini? tak bisa kubayangkan bila beberapa bulan lagi mungkin aku hanya akan kembali menjadi seorang aku yang tidak merindu pada celotehmu. namun aku percaya, Tuhan tidak mempertemukan kita dengan sia-sia.
yang menjadikan tidak sia-sia adalah kamu merubah seorang aku, menarikku dengan paksa,namun jauh dari kasar,untuk keluar dari zona nyamanku,yang selama ini memanjakan dengan bantal-bantal bulu angsa dan selimut bulu domba berupa pujian dan popularitas. kamu tanamkan dalam segumpal tanah subur di kepalaku bahwa bukan itulah tujuan seorang manusia diciptakan, bukan itulah yang merupakan kebahagiaan.
caramu menjauhkan puntung rokok dari belah bibirmu yang terus riang berceloteh memceritakan mimpi-mimpimu adalah kebahagiaan. tiap langkah yang hendak kamu langkahkan kepada seorang aku adalah kebahagiaan. denting pelan dari kukumu yang menabrak kuping cangkir adalah kebahagiaan. kerut di sisi luar kedua matamu ketika senyummu mengembang karena maksud tertentu yang tidak bisa kamu katakan adalah kebahagiaan. hangat telapak tanganmu ketika mengusik kerapihan rambutku sebelum kakimu melangkah ke atas panggung adalah kebahagiaan. genggam tanganmu di pergelangan tanganku adalah kebahagiaan. caramu menyelipkan sepuntung rokok di antara jari telunjuk dan jari tengahmu tangan kirimu, sembari merangkulkan tangan kananmu di lengan kananku, menghindarkanku dari lumpur di rerumputan malam itu, adalah kebahagiaan. sorot matamu yang teduh dan seketika menggebu-gebu tiap menceritakan rencanamu di masa depan adalah kebahagiaan.
bila ada satu hal yang aku takutkan akan terjadi adalah bila tidak bersamamu adalah kerinduan. karena bersamamu selalu menyenangkan. karena tak pernah ada penawar bila rindu sudah jadi bagian dari kehidupan. aku baru sadar, kamu bahkan lebih membahayakan dari candu. ingatkan aku suatu saat bila sudah waktunya aku untuk pergi, lepas dari seorang kamu. katamu tak boleh ada yang menunggu untuk seorang seperti kamu, aku tahu. dulu aku hanya diam, kini aku punya jawaban. aku tidak menunggu seorang kamu. aku menunggu waktu untuk terakhir kali kita bertemu, menunggu sesap kopi terakhir yang kita habiskan bersama, menunggu caramu mengatakan selamat tinggal untuk terakhir kalinya. jangan lupa, aku pernah menjanjikanmu sebuah pelukan. aku menyimpannya untuk saat yang tepat. seperti saat kamu akan mengejar mimpi yang lebih besar dari mimpi yang pernah kamu ceritakan kepadaku. aku hanya ingin kamu tahu, bila nanti telah kamu injakkan kedua kaki itu pada sebuah batu pijakan besar dan kokoh untuk jadi tumpuan kamu meloncatkan diri pada mimpi-mimpi yang telah menanti, aku masih ada. tidak pernah letih. menunggu.




for a smoker, coffee addict, nocturnal and the sweetest guy i've ever met this far.
go get your adventure. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...