Langsung ke konten utama

sok mengkritik

I have a lot of friends,dari yang insecure sampe yang flirty-ass.
sebel sih kadang-kadang,but then aku mikir lagi sebelum mengkritik mereka atas sifatnya yang begini dan begitu.

first, i don't wanna change them.
soalnya aku nggak punya hak, untuk merubah mereka jadi manusia dengan sifat yang aku pengen.dan meski niatku baik dengan mau menjadikan mereka manusia yang lebih baik, still... aku nggak bisa menjanjikan bahwa aku akan tetep ada di samping mereka ketika nanti mereka udah jadi pribadi yang lebih baik. meski jadi pribadi yang lebih baik pun, tapi kalo baiknya nggak buat mereka ya buat apa. percuma. karena menurutku yang tahu apa yang baik buat diri kita itu ya cuma diri kita sendiri, cuma kita yang tahu batasan diri kita itu sampe dimana.

second, bagus deh kalo misalnya emang itu sifat yang bisa diperbaiki, tapi kalo emang dia orangnya kayak gitu? malah beresiko. kalo emang wataknya kayak gitu dan kita kritik, mereka pasti mikir gimana caranya biar nggak gitu, tapi kan itu watak, selamanya akan di diri mereka, i don't want them to feel bad about theirself. dan again, i don't wanna change them. nggak mau membuat mereka jadi apa yang bukan diri mereka. dan yakin banget suatu saat ketika mereka udah berubah dari sifatnya yang aku kritik pasti aku kangen.

"eh si A kok sekarang diem ya, dulu genit banget lo padahal, rame gitu anaknya"
bisa jadi karena mereka nggak enak karena kamu pernah mengkritik sesuatu yang nggak bisa mereka ubah.sebelum mengkritik someone, please just ask yourself first.
"aku kalo diginiin sakit hati nggak ya"
"kalo aku jadi dia rasanya gimana ya"

aku awalnya nggak mempermasalahkan soal mengkritik orang sih.tapi banyak banget orang yang mengkritik dan ketika aku udah berubah karena kritikan mereka,eh gantian mereka malah nanya "kok kamu nggak gini lagi sih,jadi kangen" "what's wrong with you kok jadi gini"

so people, tulung, mikirnya jangan setengah-setengah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...