Langsung ke konten utama

the perks of being fat

i just cried. okay. it's not funny. but let me tell you something that doesn't funny at all but people still laughing about it.

bercandaan fisik.

the thing is, i thought that i'm not that girl anymore who bullied by getting fat. no, i'm not getting fat. i'm just fat. and i have no issues about that. aku gendut. yaudah. aku aja nggak masalah kok kalian masalah banget?

why do i don't give a damn about that? karena aku bisa melakukan apa yang orang kurus nggak bisa lakukan meskipun aku gendut. yang boleh hidup dan berjuang di dunia bukan cuma yang kurus. bukan cuma yang ukuran bajunya xs atau s.

bahkan, aku bersyukur jadi gendut. why? soalnya dengan menjadi gendut otomatis aku akan mencari cara agar orang-orang nggak mempermasalahkan gendutku. akhirnya aku mencari sebanyak-banyaknya potensi dalam diriku kan? and it feels good for me. aku merasa nggak cuma hidup karena aku cantik atau punya body kayak manekin, tapi karena aku pantes hidup karena aku berjuang.

dan jadi gendut itu kayak filter, orang yang ngejudge dan nggak ngejudge kamu akan keliatan. kalo orang ngejudge dia akan berpikir, "dih anak ini bisa apa" then they wouldn't do anything about you. but orang yang gak ngejudge akan mikir, "ini pasti ada yang spesial dibalik dia yang gini" makanya they would love to getting closer to you. nah, makanya hargailah orang-orang yang pengen deket sama kamu dengan cara menjadi dirimu yang lebih baik. gitu.

i love being fat. but doesn't mean i don't wanna get thin.
aku gak marah doesn't mean aku nggak sakit hati.
bercandan fisik itu gak ada yang lucu.
and i'm not sorry that i'm not laughing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...