Langsung ke konten utama
beberapa bulan yang lalu, aku sering menemukan diriku meringkuk di atas ranjang, tengah malam, membenamkan wajah pada bantal yang telah basah kuyup oleh air mata. atau mungkin, lebih tepatnya, membenamkan diriku pada sejuta pertanyaan tentang dia yang tak akan pernah ada jawabnya.

namun hari ini, aku terbangun dengan bahagia meski jam masih menunjukkan pukul 5 pagi. bahkan sebelum alarm handphone ku berbunyi. ia pun rupanya malas melihat keantusiasanku untuk pergi ke sekolah. pergi menemui kamu. alasan aku terbangun pagi ini sangat pagi, dan alasan aku terbangun dengan sangat bahagia. aku tidak sabar bertemu dengan kamu.

seperti pagi yang lalu-lalu, aku berangkat sekolah mengendarai sepeda motor kakakku yang telah mulai bobrok mesinnya karena ku gunakan dengan sembarangan, tanpa ada perawatan yang ekstra. kamu tidak akan berangkat sepagi ini. aku tahu itu. aku tahu kamu.

aku memarkirkan sepeda motor itu di parkiran sekolah, tempat dimana kita banyak meluangkan waktu bersama. tempat aku banyak menerima pendapat bijakmu. aku berharap bisa menemuimu disini pagi ini, lalu berjalan bersama menuju kelas kita, ikut meramaikan derai tawa teman-teman yang sama-sama kita sayangi.

hari ini berjalan seperti biasa. namun tidak bagiku, berada di sampingmu selalu luar biasa. dapat melihatmu bertukar guyonan dengan teman-teman merupakan kebahagiaan tersendiri buatku. aku bahagia dengan melihatmu bahagia. aku bahagia tiap pulang sekolah menemukan tubuhku penuh dengan aroma tubuhmu. aku bahagia ketika tanganmu tiba-tiba memainkan jari-jariku sambil bercerita tentang sesuatu yang kamu ingin aku tertawakan, hihi. aku bahagia bersama kamu, semoga kamu juga begitu.

kamu memeluk aku.
dalam peluk itu aku sadar, aku jadi aku yang lebih baik ketika aku bersama kamu. i'm in love with the right person.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...