Langsung ke konten utama

yang aneh tentang kita

yang aneh adalah karena beberapa bulan denganmu terasa seperti telah bertahun-tahun dan beberapa hari tanpamu serasa sehari tanpa jarum detik yang mendetak dalam jantung jam dinding di atas pintu kamar mandiku. yang aneh, hingga hari ini aku masih merindu aroma tubuhmu yang khas dan menyengat, dalam artian baik, meski peluhmu bercucuran sebesar biji jagung bakar yang waktu itu kita makan di STMJ pada salah satu malam minggu dari beberapa yang pernah kita lewati bersama. masih juga lekat, dengan anehnya, pada memoriku, lenganmu yang tak terlalu kekar namun dengan cakap mendekap tubuhku erat ke dalam peluknya yang hangat. aku memang amat sangat lemah bila berhadapan dengan pelukan. aku suka pelukan. anehnya, aku tidak ingin dan tidak menemukan peluk yang sama dengan pelukmu, peluk kita. mungkin benar tak lagi ada rasa, karena menghapus perasaan itu bukan masalah besar, yang sukar adalah menghapus kebiasaan, untuk mencintai seseorang dan senantiasa mendampinginya menggapai mimpi setinggi langit, entah langit mana yang ia mau, juga untuk menjadi versi terbaik dari diri kita karena kita yakin bahwa dia telah menjadi dirinya yang terbaik untuk kita. aku merindu kamu. setelah sekian lama aku hidup dengan diriku sendiri, mengukung pergaulanku agar jauh-jauh darimu, aku tetap tidak bisa tidak peduli. aku masih jatuh cinta tiap hari, meski aku tidak lagi memandang sorot matamu tiap pagi, meski aku tidak lagi terbangun atas pesan singkatmu yang manis, meski aku tidak lagi bisa mendapat sekeping harapan atas hatimu untuk kembali. aku hanya berharap Tuhan melukiskan kita dalam kanvas yang sama meski dengan dua cara menggambar yang berbeda. aku merindu kamu. aku masih jatuh cinta tiap hari. itu yang paling aneh tentang kita. kita selalu membuat aku jatuh cinta meski tidak lagi ada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...