Langsung ke konten utama

tuntut menuntut

kentut.

eh jangan dibaca. hehe. becanda.

aku sih merasa belum bisa jadi manusia baik-baik ya. jadi aku tidak merasa berhak menuntut seseorang untuk menjadi manusia baik-baik. toh kalaupun aku sudah jadi baik-baik, harusnya manusia tidak bisa dituntut untuk menjadi baik-baik. wong menjadi baik-baik itu harusnya kewajiban. iya toh ?

ini lagi merenungi kata mbak shalmaa di posting tumblr nya sih .

Here’s, for the girls who’s longing for a lovable husband figure as Pak Habibie, udah bisa kayak Bu Ainun kagak lo? Hehehehe….
nah ini.

cewek-cewek yang menuntut cowoknya baik ke dia itu apa udah bisa jadi yang terbaik buat cowoknya?
sekarang sih gak akan ngomong sejauh hubungannya pak habibie sama almarhumah bu ainun ya.

deket aja sih. udah bisa membahagiakan dia sebagaimana dia membahagiakan kamu belum?
sudah bisa mengerti dia sebagaimana dia mengerti kamu belum?
sudah berkorban sebagaimana dia berkorban untuk kamu belum?

kalau masih ada yang jawab,

"kan aku cewek, masa' aku berkorban" 

GO FUCK YOURSELF.
toh berkorban tidak harus yang besar-besar kok.
setidaknya menghargai pengorbanan dia juga harusnya sudah cukup.
setidaknya.

jadi ya cewek-cewek mulai sekarang,
gausah sok merengek-rengek kalau pacarnya nyuekin.
diam. cukup diam.

cowok juga punya hati kali. lo kira ;)
kalau cowok macam-macam, sini aku ajari.
kamu tenangkan diri. kamu senyum, kamu diam.
kamu liatin aja dia.
nanti dia sadar.
sudah, tugas kamu cukup diam.
laki-laki pintar menyembunyikan perasaan.
kalau dia memohon maaf padamu, terima.
bilang dia untuk jujur. kalau dia ngeyel sama kamu.
ya sudah terima saja.
kalau dia masih macam-macam, diam saja lagi.
lalu pergilah dari hidupnya untuk batas waktu yang tidak kamu tentukan.
carilah hidup yang baru.
biar Tuhan yang membalas :)

enough for lessons for the day ya ?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...