Langsung ke konten utama

how they break my dreams

i never had what i dreamed, since i was a kid (not a teenager) they always break my dreams i have dreamed for a long time. and when i say 'they' it doesn't mean my parent, but they come under it.
dari jaman kuecil. waktu udah tinggal selangkah mesti ada yang bilang sesuatu yang menyinggung dan bikin down. dan sekali aku sampe di kompetisi nya, dan kalah. mereka akan bilang sesuatu lagi yang bikin makin down dan membuat aku merasa aku gak bakat di bidang itu, sampe sekarang aku kehilangan semua kesempatan dengan segudang bakat di dunia. karena apa ? aku bingung. semua hal yang tak coba itu gak ada yang pas sama aku. selalu ada aja yang bikin i'm not perfect in it.
waktu aldi gak mau ngiringin aku nyanyi di SD, karena kamu gak yakin kan di ? kamu gak percaya aku bisa ngikutin kamu main kibot kan ?
waktu aku gak kepilih vocal group meski koreo ku lebih bagus dari risma, karena bajunya gak mungkin cukup di aku kan pak ?
when i have a dream, people like starts give me a pillow, bolster, new bed, or a warm blanket. maybe aspirin too. but the different, it's not really that comfy. pada dasarnya yang mereka tawarin itu bukan barang-barang yang membuat aku nyaman untuk bermimpi, tapi membuat aku tidak nyaman bermimpi tapi tidak bisa bangun untuk mewujudkannya.what so bother them so they can't expect to be an idol ?
sekali lagi der, sekali lagi kamu bikin aku sakit hati. aku niat nemen der untuk audisi ini. aku ngerti aku lemu. tapi yo yaopo maneh ? keadaan ku saiki koyok ngene, lek aku gak berjuang dengan tubuhku sing koyok ngene, kapan society mulai nerima wong sing koyok aku ?
ngerti o der.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...