Langsung ke konten utama

you have to know the reality

ya coba aja bayangin, tiap hari, buka laptop, pulang sekolah, laper,
"dek, gak ada makanan"
sebenernya dulu kalo pas kelas 8 gitu itu masih suka ini lo, makan di kantin, kalo gak gitu di cbezt. tapi sekarang kelas 9.udah keburu pulang saking malesnya kemana-mana dan bosennya makanan kantin.
dan juga, makanan di kantin itu gak ada sayurnya. titik.
dulu padahal rok ku sesek, gak wenak.apalagi kalo habis makan pasti jadi nyiksa banget. tapi sekarang rok udah longgar malah males makan. padahal sampe di rumah juga belum tentu bisa makan.
gini ini tersiksa banget kalo gak ada ayah. sekarang ayah ke jakarta, biasanya kalo aku bilang,
'yah gak ada makanan' pas ayah mau pulang kantor, pasti ayah masak, atau bawa makanan atau ngajak makan di luar.
pas pulang sekolah juga,kalo aku dijemput ayah biasanya aku bilang, 'yah belum makan' trus pasti ke lian.kadang.aku berharap, kenapa masakan di rumahku gak pernah bener sih ?
i need someone who can cook for me and my family.not only for my mom.
mau sampe kapan jadi obat nyamuk gini? -____-
makanan gak ada, moodbooster gak ada, sekarang ke rumah paling cuma ngapain sih, cari tipi gratis,mck facility,hotel gratis yang ada boneka engibet nya,baju yang kadang secara misterius suka ilang sendiri, charger, INTERNET CONNECTION.
i don't know what happened to my life if my daddy was not longer here.
AREP DADI OPO AKU BLEH.
setipa ngomong "buk di rumah gak ada makanan"
dicocotin dulu, "hus,gak boleh kayak gitu,kamu itu harusnya bersyukur di rumah itu ada blablablablablablabla" shut the fuck up.
LEK GAK TAU NDEK OMAH GAUSAH SOK-SOK NGERTI.IKI LO ANAKMU WEDOK URUSONO.NGENTENI AKU METENG A MBOK URUSI MANEH.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...