Langsung ke konten utama

cangkir air mata

semua orang hidup dalam penantian.begitu juga dengan aku.semua anggota keluargaku.semua teman-teman yang kusayangi meski mereka tidak menyayangiku.semua orang yang hidup di bumi.mereka menanti.meski mereka mungkin belum menyadari sesuatu yang tak kunjung datang itu.
lari-lari kecil mereka menunggu untuk menjadi sedang dan diijinkan keluar hingga malam.mereka yang pulang hingga malam, menunggu untuk bisa menghasilkan uang sendiri, mengepakkan sayap-sayap yang seraya dipupuk sedari langkahnya hanya sebesar kepalan tangan.mereka yang bisa menghasilkan uang sendiri, entah, mungkin menunggu janur kuning melengkung, atau menunggu pekik riang anak-anaknya yang sibuk berlarian di taman, atau yah... menunggu mati.
aku, menunggu lembar-lembar jerih payahku habis seiring makin lamanya penantianku.bersama dengan daun yang mulai kecoklatan dan mengambang di rengkuh udara.bulir darahku yang mulai bosan turut serta menanti perlahan juga meracau, menuntutnya untuk segera kembali.cangkir-cangkir teh yang mendingin diserbu angin juga tak peduli lagi, mulai meninggalkanku sendiri.duduk di antara kecap suram yang menggulana dirantai rindu.jemariku yang lama tak tersentuh genggam mu juga mulai gemetar, langkahku tak selincah waktu masih bisa memelukmu dari belakang juga membantumu menanam kembang-kembang mawar merah di halaman belakang rumah kita.ketika yang kita dapat hanya tawa bukan cangkir-cangkir air mata.
sudah,sayang.sudah ku hidupkan cinta kita untuk semua orang.habis penantianku untukmu,kini tutup mataku telah menanti, tak sepanjang penantianku untukmu, karena aku akan kembali padanya secepat mungkin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...