Langsung ke konten utama

terbangun

dulu, aroma favoritku adalah baju basket yang tergantung di belakang pintu kamar ini. yang sebenarnya aku juga belum yakin hingga kini, apakah itu benar-benar aroma tubuhnya, atau hanya sekedar aroma dari pakaian yang tersimpan terlalu lama di dalam lemari.dengan aroma rotannya itu..
dulu, tiap-tiap detik dalam hidupku lebih banyak ku habiskan untuk menyebutkan namamu, seakan aku ikut terbawa dalam tiap denyut nadi dan detak jantungmu yang makin kuat seiring bertumbuhnya raga gagah perkasa yang ku idolakan itu.miris ya, ternyata kecap mulutku lebih sering mengucap namamu dibanding asma Tuhan.
dulu, tiap lembar-lembar kosong di buku ku selalu tercetak namamu, dengan tulisan terindah yang pernah kubuat, hampir tiap hari. seakan satu tulisan,dengan tulisan yang lain saling melengkapi. kutulis sekali, ku hapus. esoknya, kutulis sekali lagi, di laman lain, ku hapus. terus seperti itu.
dulu, ah.. untuk apa sih terus kuceritakan? haha, maaf ya, mulutku ini memang susah diatur, sekali berbicara, terus mengalir seperti sungai yang masih jernih, sayangnya.. setiap omonganku selalu kotor.
dulu, iya.. dulu. maaf ku singgung lagi.dulu tiap mataku akan terpejam, namamu seakan ada di tiap atmosfir beningnya, begitu juga ketika ku membuka mata, terbangun, aku berharap aroma tubuhmu di sampingku.membawakanku "breakfast-on-bed", membawakanku setangkai mawar dengan sebongkah hangat cinta.
sekarang, waktunya aku terbangun bukan? terbangun dari mimpi yang telah lama membuai.konyol ya?
"sayang..bangun honey, are you drunk last night?"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...