Langsung ke konten utama

no i ain't gonna comb my hair

njendel. sumpah. susah nyisir rambut waktu kotor atau bangun tidur atau lebih parahnya lagi, setelah seminggu tidak disisir.ibuku banyak berkomentar soal, "kamu iku rambut apik gak tau disureni podo ae goroh"
mom, bukan begitu.. bukan..bukan..
no, sebenernya yang mau diceritain bukan soal rambut. aku sengaja bikin judul kayak gini biar dianggep posting gak penting aja dan gak ada yang tertarik baca. beberapa bulan memang aku pensiun sementara dari blog, kenapa? karena aku tidak tahu cara menuliskan apa yang sebenarnya mau ku ungkapkan. sekarang aku siap, siap wal afiat #apapula.
yeah rek, sekali lagi ini untuk teman-teman tercinta yang senantiasa mendampingiku kala bodoh atau cerdas.meski aku terlalu bodoh untuk tahu 6 kali 7 namun aku cukup cerdas kok untuk tahu kalian tetap sahabatku :* ngomong-ngomong 6 kali 7 iku 46 apa 47 sih?
makasih buat dora yang selama ini bantu aku ngehafalin perkalian untuk kedua kalinya sejak aku kelas 2 SD ya.sekarang gini dor, aku merasa dora fina dan yang lain itu mulai menghindari ku karena aku punya pacar.oke, aku mungkin bukan lagi perempuan ngenes, mungkin aku berubah. tapi sebenernya aku bertanya-tanya dengan cara copy paste quote nya mas ganceng a.k.a njing,
"Who are actually change?"
ih tahi, jleb beyudthz.
kenapa are? karena banyak yang bilang i'd change.
sekarang gini, mungkin aku bukan temen kalian yang dulu, mungkin aku tidak sengenes kalian, but i'm still the bitch. we still the bitches. why bitch? karena kita emang gituuu.percaya gak siiiih.
dor, aku sayang dora, min, aku sayang mina. gab, aku sayang gaby :)
why i'd change? cause i'm grew up.grew up doesn't mean i won't be yours anymore.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...