Langsung ke konten utama

menjejak rindu

di sini. masih terpatri jelas, dengan warna-warni tawa, tangis serta rintih. waktu itu, aku masih baru menjadi satu bajingan yang kau buat beberapa bulan lalu nya. lalu kau mengembalikan jiwa luguku di taman itu, memanggilku kembali. membuatku menanggalkan semua citra buruk, nakal, badung dari segala penjuru tubuh ini. ya, aku, bajinganmu. kembali jadi gadis lugu, yang mungkin dulu selalu kau rindu, selalu? rindu?
di sini. bahkan masih lekat aroma tubuhmu, yang terakhir kali ku hirup hari itu. masih ingat wangi lemon dari roti yang kau bawa? juga krim nya yang kau bersihkan dari bibirku, dengan milikmu. bibirmu. juga kopi kalengan yang menghapus ingatanku akan ceceran darah di sini. namun tak cukup pahit, untuk mengganti pahit nya rasa dari reraga yang digantung.bukan reraga. hanya hati. alter ego dari otak.
hei, ia mulai marah, mulai cemburu. atas kelakuanku yang tidak pernah berhenti mengejar ceceran kenangan untuk merangkainya bagai sebuah puzzle. oh maaf. kita tidak punya kenangan kan?
rinduku menggugat lagi, sekamnya masih panas di sulut api. ia menghujatku tanpa ragu, tekadnya sekeras batu. rinduku cuma satu. rindu bisu. meski begitu, ia kadang beran-berani menghajarku dengan tinjunya hingga pundakku pun tergugu. ia tak selembut... kamu.
kasusmu ditutup. tak ada titik temu. tidak bisa, tidak bisa begitu. itu kamu, bukan orang lain yang mati sia-sia, kamu. mati untuk aku. mati. pergi. beku.
bukan untuk aku? maaf.aku lancang.
aku janji. aku akan segera kembali. jangan paksa aku membuat janji yang terlampau tak bisa kutepati. kini aku kembali. benar-benar kembali. menjejak rindu, menapak asa, membuang masa lalu.
selamat tinggal cinta, aku tahu kau di sampingku. selalu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...