Langsung ke konten utama

"hati dia? mungkin"

ini bukan perkara seberapa lama kita menjalin hubungan. bukan perkara cinta atau tidak. ini perkara 'kita'. kenapa kita? kita yang saling pergi satu sama lain.lebih jauh dari sebelum-sebelumnya.
hanya ingin memilih jalan hidup sendiri. tanpa saling rangkul lagi. hanya beranjak dengan tangan di masing-masing saku. menggenggam erat masa depan.
dengan dada yang meradang aku kembali meneruskan perjalanan panjangku yang kau hentikan untuk sementara. terlambat. tutup.
semua sudah gelap. aku terjebak dalam jalan buntu. dimana aku terjebak. hanya harus terus disitu. karena kamu.
dan kamu pun juga terjebak kan? di antara himpit kebahagiaan tiada tara.
kita sama-sama tahu kan? 2 tahun bukan waktu yang sebentar, bukan sesuatu yang instan seperti katamu.2 tahun itu berakhir dalam 1 bulan?
kadang dan terus kadang aku berfikir kenapa kamu tidak tergila-gila denganku saja.terlambat.
"nyeet, ngelamun ajee, gak ke kantin? di tunggu gebetan lo tuh"
"bukan gebetan gueeee, dia aja tuh geer hii"
si dinda ini memang paling bisa untuk menyadarkan jiwa yang sedang kemana-mana, mungkin harusnya dia jadi paranormal saja, siapa tahu bisa menyadarkan orang-orang yang kesurupan.
lagian siapa sih gebetanku. aku kan sudah berjanji untuk menunggunya pulang. tapi untuk apa juga? toh aku bukan siapa-siapa nya.
"daripada ngelamunin yang disana terus, kenapa gak coba sama yang disini?"
"bangke lo.hati gue bukan mainan ah.ngaco"
"hati lo enggak, hati dia? mungkin hahaha"
aku meneruskan membahas soal dia dan dia lagi. dia yang disebut 'disana'.membahasnya dengan fikiranku sendiri.duduk menengadah memandang langit-langit kelas, lalu mengalihkan pandangan pada ambulan yang melintas dan terlihat via jendela kelas untuk tambahan pelajaran ini.
"lagi liat apa nona manis?" ujarnya lembut, berbisik tepat di telingaku.
"cok kon wan.keriiii"balasku sembarangan.
dia toh bukan siapa-siapaku.
"kodew kok thithik-thithik cok, opo ngono iku"
he's..totally annoyiiiing!!!!
"aku sibuk,ngaliho"
"oke, aku diusir"
"mboh, ngamuk o"
"aku ngalih yo, ojok kangeen"
"taek"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...