Langsung ke konten utama
detik

lantas bagaimana? bila aku tak lagi ada, hanya aku dengan noda rintik pekat merah di sekujur tubuh dan lumuran keringatmu yang terberkas transparan. aku pun pasrah, hanya terdiam, tanpa sedikitpun perlawanan. cita-citaku akhirnya tercapai kan, pergi dalam genggaman tanganmu.
entah, harus kah terlalu cepat dengan bilah pisau atau sebuah gunting. halus atau kasar.
aku tak berharap menakuti mereka yang membereskan jasadku, mati lemas boleh juga, nampak seperti tertidur, haha, tak mungkin lah. dimana-mana orang mati selalu menakutkan toh?
setelah delapan tahun ada dalam rengkuhmu, tertawa bersama, bercolek-colek ria dengan adonan kue, melepaskan lima puluh balon warna-warni, terima kasih ya.
dan aku memakan bubur ayam buatanmu yang terakhir, masih menikmati canda terakhir kita, tawa terakhirku. aku terlalu mengantuk untuk tidak tidur telentang, tidur terakhirku, kau menggenggamkan sebatang mawar di telungkup tanganku yang mendingin. mataku yang tinggal sekejap saja akan menutup, bibirku yang membiru perlahan menyunggingkan senyum, hanya berbisik, 'terima kasih' buram, mulai hanya nampak seperti bayang semu, dengan gelegak terakhirmu. aku, pergi, mengiringi detik ajalmu.

kita atau aku


kita -atau aku- masih termenung, cengengesan, memandang lelangit bangunan dimana kita -atau aku- menuntut ilmu. mengingat segala memori manis tahun lalu, ketika kita -kamu dan aku atau dirimu- masih berada dalam satu kalbu. dan juga segelas kopi sachet-an dingin yang kita -sekalbu- buat bersama di kantin dengan berisik, lalu berlomba menuangkan choco granule nya. tawa kita -yang kini tinggal aku- masih mendetail, begitu juga dengan kerut di dahiku yang makin mengerut seiring derai tawa yang mengeras. kita -yang kini hingga hanya tinggal aku- tetap dalam satu benang tak kasat mata yang jeru mengikat tiap tetes darah dan gerak lembam syaraf kita berdua -yang kini hanya tinggal aku-. aku -yang kini hanya tinggal aku, bukan lagi kita-. masih gemar mengunyah permen karet, membuangnya bahkan ketika belum terasa pahit, tidak sempat membuatnya menjadi gelembung besar seperti yang biasa kamu buat untuk aku -yang dulu kita-. aku -yang hanya tinggal aku- seakan tidak ingin merasakan pahitnya dan membuat dunia, bahkan selir angin pun tahu bahwa aku masih menekankan namamu di tiap relung ragaku.
jaketku, tak bisa sehangat pelukmu serta sekecup lembut cium di pipiku -yang waktu itu kita- yang terlalu bundar. bahumu yang bidang namun empuk, persis seperti bantal di rumahku, namun bantalku tidak memiliki deru nafas sepertimu -kamunya aku- bantalku diam membatu.
aku suka aroma tiap jengkal tubuhmu, nafas aroma rokok yang tidak aku -hanya aku- suka, tubuhmu yang wangi parfum coklat atau terkadang pelembut pakaian, rambut -hanya rambutmu, jamu- yang penuh semerbak serbuk kayu, entah darimana. serta tangan cekatan yang seraya menggamit tanganku -hanya tanganku- atau merengkuh pundakku hangat, dengan aroma adonan roti yang menghangat, erkadang juga bercampur atau didominasi dengan aroma rempah serutan pensil meski kita -entah aku, entah kamu, entah kita- lebih sering menggunakan pulpen.
dan kini, kita -atau aku- kembali berleha di lantai marmer itu, memandang sarang laba-laba yang mulai bertengger di sudut dinding juga bunyi decak hewan yang biasa disebut cicak, sambil menggenggam rasa dari masa lalu yang terinjak, terlupa. kita -atau aku- tetap berada dalam satu drama dan melodi ironi yang dirancang sedemikian rapi, berpegang teguh pada skenario kerasnya hati.
kamu -dirimu, diriku- batu pengganjal raga rapuh dan pengikat partikel dalam butih pasir merah carik yang deras mengalir dalam tubuhku -tubuhku, tubuhku mu-

kadang-kadang


diam-diam aku juga kadang rindu. ketika kita berada terpaku dalam satu meja hanya untuk beradu pandang, siapa yang berkedip duluan, ia yang kalah. atau saat ketika kau dengan iseng menyipratiku dengan teh susumu. juga bulir gula yang tertinggal, lalu kau usap sembari berkata, 'makan yang banyak yaaa, biar cepet gedeeee'.
diam-diam aku juga kadang rindu. pada baju kerah v warna hitam mu yang kubilang tak pantas dipadukan dengan kemeja jeans kedodoran yang kancingnya tak disatukan satu sama lain. juga skinny jeansmu yang 3  bulan tidak dicuci itu, apalagi kacamata mu yang kontras berpadu dengan pakaian gaul itu.
diam-diam aku juga kadang rindu, pada gamit tanganmu yan lembut hangat menenangkan, juga ketika aku harus mendongak untuk memandangmu. keusilanmu ketika bermain dengan catwalk di sebuah mall dengan aku tetap di bawah serta tanganmu yang masih erat menggenggamku.
diam-diam aku juga kadang rindu pada berbagai topik pembicaraan kita dari yang paling bijaksana hingga paling konyol, ingatkan betapa bodohnya ketika kita membicarakan politik negara dan berakhir dengan spongebob?
diam-diam aku juga kadang ingin pergi dari aku yang kini tak bisa lepas darimu. kadang aku ingin jadi aku yang dulu. kadang aku hanya aku, aku yang cuma bisa rindu, rindu kamu, rindu diriku.

rindu rumah


aku sama sekali tidak keberatan meski temanku disini hanya kepul asap rokok dan denting asal yang sumbang dari piano tua di hadapanku. aroma sup krim dari panci yang kau aduk itu perlahan sampai ke cuping hidungku, terus, merengsak menembus bulu-bulu halus hingga sampai ke syaraf indra pembau.
celana denim pendek yang di hipster dan tanktop abu-abu ini masih melekat jelas, membalut di tubuhku, nampak sesak, entahlah, mungkin timbunan lemak di perutku mulai bergejolak tajam, atau hanya perasaanku saja? kau selalu membuatku merasa kurus dan melahap habis apa yang kau masak hingga barang tak secuil atau setetespun tersisa.
dari piano, aku beralih pada televisimu, lucu, model lawas dengan antena yang menonjol ke atas, saksi bisu pengorbananmu pada tim sepak bola kebanggaan negeri. sudah matang belum? aku kesana ya.
meja makan asli dari kayu mahoni yang entah mungkin hasil dari perburuan dengan gergaji paman gepeto ini masih kokoh, kuat, sempurna, tak sejengkal pun menampakkan kerapuhannya, gores kemerahan yang jarang makin membuat nya terlihat angkuh, terlalu banyak dilap atau terlalu jarang digunakan. oh belum matang ya, ku tunggu di ruang keluarga saja deh.
'itu jaketmu masih cukup tidak ya? masih kusimpan di lemari, kalau dingin kau pakai saja ya, daripada masuk angin' serunya dari dapur,
aku hanya mengangguk dan menggumam pelan, tak mengalihkan pandanganku dari televisi berantena menonjol itu, aku tak tahu apa yang sedang disiarkannya, pikiranku sedang melanglang buana entah kemana.
sedari kecil, aku selalu merindukan bubur yag disiramkannya sayur bayam bening dan pipilan jagung yang telah direbus, menyegarkan, sayangnya hari ini hujan mengguyur kota ku ini beramai-ramai dengan grupnya masing-masing, tidak ada bubur, aku harus menerima sup krim ini, aku juga merindukannya.
lama aku tidak berada disini. aku tidak mengerti bagaimana tiba-tiba ibu pergi dan membawaku ke rumah barunya yang megah dan indah namun terlalu sepi, tak ada tawa renyahnya, tak ada aroma masakan dari dapur. ibu dan 'ia' yang lain terlalu sibuk bekerja, tak pernah menemaniku menonton televisi, mendengar siaran RRI di malam hari, memangku tubuhku yang berat di atas kursi malas sambil mendongeng soal punakawan dan tidak pernah memasak untukku, mereka memesan makanan dari sebuah perusahaan katering, tidak pernah pas dengan seleraku.
ya Tuhan, jaket ini masih cukup, yah.. bukan jaket, bisa disebut sweater, warna coklat susu kesukaanku, masih pas, merengkuh hangat bagai melindungi dari gelegar petir yang membahana di luar sana.
'ayah, aku rindu rumah' kataku malu-malu.
kata ayah aku sudah lebih diam, tidak cerewet seperti dulu, aku sekarang suka roti lemon, bukan roti melon seperti dulu, sekarang aku sudah pakai celana pendek, bukan celana panjang seperti dulu, sekarang rambutku mulai ikal, tidak lagi lurus seperti dulu, sekarang aku sudah besar, bukan lagi bocah kecil yang merinkuk di pojok sofa ketika rembulan datang, meminta dipindahkan ke kamar, tempat dimana seharusnya bocah kecil itu terlelap.
sup krim ini masih panas, namun aku sudah tak sabar untuk menghirup uapnya yang tak kalah mengepul dari asap rokok ku tadi. aku tidak lagi merokok se aktif dulu, hanya sebatang sehari, mungkin sebentar lagi aku akan membuang semuanya, kecuali nikotin di tubuhku. kau tahu, ada alasan mengapa aku tak boleh merokok lagi.
kedatanganku ke rumah ayah bukan perkara sekedar rindu atau apa, ada suatu hal yang ingin ku bicarakan. setidaknya aku akan menunggu hingga isi mangkok ini berkurang setengah.
'ayah, nama yang bagus untuk anak laki-laki itu apa ya? yang artinya indah dan penuh doa'
ayah berkedik heran, agak kaget.
'kalau anak perempuan? ayah punya ide?' tanyaku lagi, memberondong ayah dengan pertanyaan yang mengherankan.
'kau ini kenapa? lama makan masakan katering atau terlalu banyak tersambar petir?' tanya ayah sambil mengerutkan kening.

'aku hamil ayah'

air muka ayah yang heran seketika berubah 180 derajat menjadi raut bahagia. memelukku yang masih menyesap kuah sup dan menelfon suamiku untuk memastikan kebenaran kabarnya.

'esok hari kau undang suami, mertua, ibu, dan ayah barumu itu ya! aku masak kan bubur kesukaanmu! kita pesta besarrrr!' seru ayah bahagia, dibuntuti tawa renyah yang lama tak kudengar.
disusul tawa bahagiaku.
tidak ayah, aku tidak punya ayah baru atau lama, ayahku hanya satu, ayah yang menyelimutiku ketika aku terlelap di sofa, ayah yang memasakkan makanan kesukaanku dan masih mengingatnya meski bertahun-tahun kami tak bertemu, ayah yang bisa menjadi sahabat terbaik untukku, ayah yang bisa mengajarkan kedewasaan terhadap suamiku, ayah yang akan segera menjadi kakek terbaik untuk anak-anakku, ayahku hanya satu, ayah yang memberikan seluruh cinta kasihnya untukku.

deret saksi


namanya wayan, aku bertemu dengannya di sebuah toko buku ketika kami sama-sama mencari buku dengan lima puluh sekian halaman. lalu aku menemukannya namun aku tahu ia lebih membutuhkan. pertemuan kami hanya sebatas itu, lalu ia mengucapkan terima kasih, selamat tinggal dan pergi.
minggu depannya aku kembali melihat sosok wayan di buku psikologi, aku juga mencari buku psikologi anak untuk mengatur keponakanku yang mulai hiperaktif semenjak umurnya bertambah. kami kembali bercengkrama, ia membeli buku psikologi yang berhubungan dengan kelainan seksual, tak seperti waktu itu, kini kami mengantri di kasir bersama dan meneruskan obrolan panjang itu dengan secangkir macchiato yang mulai mendingin terabaikan.
usut punya usut, wayan adalah seniman bali yang terpaksa meninggalkan kehidupan bebasnya dengan beralih ke kota kecil yang hanya ramai pada hari sabtu ini untuk meneruskan studi, itu pun terpaksa untuk menggali ilmu lebih dalam atas cara melestarikan bisnis keluarganya. soal buku sastra dan psikologi itu, ia hanya iseng beli karena memang ia suka membaca.
wayan mengantarku pulang dengan jeep nya.
pertemuan ketiga, aku mendapatinya sedang berjongkok di antara buku dongeng anak-anak, katanya anak dari kekasihnya sedang berulang tahun. ia mengantrku pulang ke rumah lagi, hari itu kami mengobrol banyak soal homo dan lesbian, ia meminta pendapatku untuk riset salah satu temannya, ia mencoba membantu karena si pemilik riset orang yang pemalu.
wayah pemuda yang lembut namun tegas, aku mulai terbiasa dengannya. bahkan sesekali wayan mengajakku ke toko buku sepulang kuliah hanya sekedar ngobrol biasa, keluar toko buku tanpa membawa satupun kantong plastik.
"hei, besok aku jemput di kampusmu ya? aku kenalkan pacarku" katanya sumringah.
entah, ada sedikit gejola cemburu dalam batinku.
tidah sedikit, mungkin separuh dari relungnya.
hari itu aku tidak jadi dijemputnya di kampus, aku berangkat sendiri dengan kedua kakiku berjalan di bahu jalan berasik ria dengan sengat matahari yang lagaknya mulai membakar.
sebelumnya wayan bercerita pacarnya adalah seorang single parent, yang ia suka dariku adalah aku sama sekali tidak mempermasalahkan gay, lesbian, janda atau duda, pacarnya itu merintis karir sukses dan bertemu dengan wayan di sebuah kantor ketika wayan akan menemui bosnya dan si-pacar-yang-entah-siapa ini bertabrakan dengannya, wow, sinetron sekali. dan mereka bertemu lagi secara tidak sengaja di kesempatan-kesempatan berikutnya, singkatnya begitu.
"kamu masalahin soal gay sama lesbian gak sih?"
tanyanya entah keberapa lagi, kenapa terlalu banyak pertanyaan itu? jawabanku akan tetap sama.
"maura, kenalkan, dia rendy..." ucapnya gugup, tercekat.
"pacarku"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...