Langsung ke konten utama

bermain dengan poni dan mata silinder

kata aisyah orang yang matanya silinder itu susah nggarisi lurus, aku silinder. cuma dikit tapi kadang emang susah, meski udah pake penggaris tetep menclek. aku mikir ya, gimana kalo misalnya aku nekat potong poni sendiri gitu.. <--- dia gila.
pernah sih waktu itu kelas 6 dan ada rencana gitu karena sumpek poni depan udah nutupin mata. bodohny setelah dipotong malah miring gitu modelnya. krik. semacem nyesel tapi mau ngapain udah buntu. buthek.
mengingat itu kejadian bodoh, makanya untuk tahun ini gak akan ada lagi adegan potong-poni-sendiri itu, silinder udah nambah jugaa. nekat ah.
apa ya... oh iya, UAS hari pertama. aduduuuuh.. soal biologi nya semacem busuk. IPA itu wes intinya, tapi ya sek mending aku ada yang ngerjain sendiri. kepala pusing hari minggu kemaren lupa keramas, sebenernya pengen keramas tadi pagi tapi malah tidur lagi *tayar*
BD nya aku ngerjain sendiri looo. trus selese duluan, terus bobok hihi. sakjane aku mau kudu nanges #yek iya, kudu nanges perkoro gak ngerti rumus e resultan gaya padahal maeng bengi wes sinau. APA PUN YANG KAMU FIKIRKAN ITU BUKAN MIMPI, SAYA BELAJAR.
her hari ini agak rame ya, lebih banyak ngomong. aku seneng deh. koyoke mulai sumpek iku mergo aku kakean omong ._.
opo maneh se.. oh wes sakmono ae wes. AKU TIDUR DULU YA MUACH

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...