Langsung ke konten utama

radio


rasanya berbeda. sama dengan awan dan air, awan asalnya dari air bukan? air nantinya jadi awan tapi melihat air dengan awan itu berbeda, awan terlihat empuk sedangkan air terlihat menenggelamkan. radio, nanti menjadi ipod, ipod asalnya dari radio. tapi mendengarkan lagu-lagu dari ipod dan radio sama sekali berbeda. radio sering luput dari perhatianku, ia hanya bisa disebut sebagai teman dikala jalanan sedang tidak berkompromi atas kegiatan ku yang tertata sempurna dengan perkiraan waktu yang pas berantakan karena nya. macet. sial, kata itu lagi.
sebenarnya mobilku bisa menerima lagu dari ipod kecil ini, tapi sayang sekali ipodku tidak pernah punya penyiar dengan suara lantang yang menggebu-gebu penuh semangat. tidak. cerita ini tidak ada hubungannya dengan pertemuanku dengan sang penyiar, aku tidak pernah menemuinya, mendengar suaranya dengan dengung misterius sudah cukup membuatku terhibur.
hari ini, ia mulai memutarkan lagu kesukaan ku yang selalu ada di setiap playlist ipod biru nan mungil ini.
aku tidak bisa mendengarnya hingga melodi terakhir di mainkan, bagian kesukaanku, ketika musik nya berhenti mengalun. hening. keheningan yang kutunggu, radio ini tidak membiarkan ada keheningan di antaranya. itu yang aku suka, aku rindu keheningan tapi mereka membuatku lupa, menggantinya dengan keceriaan yang hanya aku sendiri yang merasakan.
dari kecil aku suka mendengarkan musik dari radio, sayangnya perubahan zaman membuat ibu ku agak terlalu sensitif jika ada gemeresak radio di rumahnya, "kau pikir ini jaman kau baru lahir apa?! sudah berapa tahun kau ada di kota besar!!", teriaknya nyaring. kucabut kabel dari stop kontak di sebelahku, kembali mendengar alunan lagu lewat ipod mungil darinya. entah, ia terlalu modern atau aku terlalu menyedihkan.
radio kecil itu -yang penuh dengan gemeresak karena mungkin kemasukan air hasil banjir tahun lalu di rumah ibu- ku boyong ke rumah Gek, seorang kawan kecil ku dahulu yang sekarang sudah beristri empat dan beranak dua belas, yang dihidupi dengan servis alat elektronik kecil-kecilan. sip, seminggu lagi aku akan mengambilnya dan kubawa pulang ke apartemen tengah kota ku.
Gek berceloteh dengan keras, lantang, seperti ketika kami bekerjasama membenahi antena televisi untuk menonton film kartun kesukaan. aku di atas genteng, ia di depan televisi.
'Eh kau dengar tidak apa tadi aku bilang? kalau kau tak mau bawa ini radio, lebih baik ku jual saja pada kerabatku', kata Gek dengan logat kampung halaman kami yang khas itu, cepat-cepat aku merebut radio kecil itu dari tangan kasarnya, berlari kecil ke dalam mobil sembari mengucapkan rasa terima kasih padanya. aku kembali mengendarai mobil menuju kantor, jam makan siangku hampir habis.
radio kecil ini nampaknya sudah cukup beradaptasi dengan barang-barang di apartemenku, begitu juga dengan AC yang selalu dalam kondisi enam belas derajat. yang tiap pagi hingga sore selalu kosong. yang tiap malam dipenuhi dendang nyanyianku yang sumbang.
'guten morgen bundaaa, ini apa siiiih? eya boleh tau gaaak? kok lucu sih bisa kelual suaya dalii citu' pekik rera sambil berlari kecil menghampiriku. 'ini namanya radio eyaa, bisa keluar suara dari sini, bisa buat dengerin lagu'. rera nampak antusias. begitu juga laki-laki ini, ia disampingku sekarang, 5 tahun setelah radio ini kuboyong ke apartemen, kami disahkan sebagai pasangan suami-istri. rumah ini adalah tempat baru dimana si radio harus kembali beradaptasi, terutama pada teriakan anak sulungku ini. semoga ia tak menyedihkan sepertiku ya, yang terlalu jatuh cinta pada radio.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...