posting ini pesenan nya virza karena dia nemu doc lama yang dulunya mau dibuat mading juthig tapi terlupa dan dia minta cerpennya diselesein. ini ya. baca. AKU TAK NERUSNO SINAU MAT DHISIK.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ya
sudahlah, biarkan mereka bilang apa, Aku hanya bisa cengengesan. Mereka
menertawakanku karena jatuh tersandung, oke, Aku memang ceroboh, bodoh, dan satu
lagi, brutal.
Skors selama 1 minggu tak membuatku sadar apa kesalahan yang telah ku lakukan, berulang kali aku
mendapat point, berulang kali di skors, berulang kali orang tua ku dipanggil ke
sekolah dan tak pernah datang karena ada di luar kota, entah aku sudah kebal
atau kenapa, tapi aku benar-benar tidak paham atas sekolahku ini, mengapa
banyak sekali peraturan yang tidak masuk akal? Kalau sekolah hanya untuk
peraturan, sudah ada sejuta peraturan di rumah kakek ku! Aku sekolah disini
untuk ilmu, tapi yang ku dapat
hanya hukuman
dan tertawaan dari seluruh penghuni sekolah, kemana pun Aku berjalan selalu ada saja
yang orang berbisik sambil melirikku, kenapa mereka tak pernah sadar, Aku hanya manusia, Aku bisa salah, bukankah
mereka juga begitu?
Hari
ini, Kakek dan
Ayah akan datang ke rumahku,
iya, rumahku. Selama ini Aku tinggal di rumah yang diberikan ayah khusus untuk ku
sendiri, Aku selalu
mendapat segala yang ku inginkan, Aku juga bergelar Raden, gelar ningrat yang berasal dari Kakek. Mungkin karena Aku tinggal sendiri akhirnya Aku jadi orang yang
serampangan seperti ini. Tapi menurutku, hidup ini sudah sangat teratur, Aku sudah bangun jam 4,
kemudian mandi dan sholat subuh, memeriksa pekerjaan rumah dan
menyiapkan sarapan, Aku juga mencuci baju serta merapikan tempat tidur. Semua ilmu
keteraturan itu ku dapat dari 6 tahun tinggal di rumah Kakek. Ayah dan Ibu berada di Yogyakarta dan Aku di Malang, mereka
mengirimkan sejumlah uang setiap bulan nya untuk membayar biaya sekolah beserta
uang saku untuk ku.
Ayahku
hanya tersenyum melihat setumpuk surat panggilan orang tua untuk pelanggaran
yang ku lakukan di sekolah. Aku memang tak pernah dimarahi, ayah tahu keadaanku.
Kalau datang ke rumah, biasanya kakek menasihatiku dengan berbagai macam cerita
perjuangannya untuk merebut merah putih dari genggaman penjajah.
“Kamu
itu kan bergelar Raden, kok bisa-bisanya buat ulah seperti ini?”, kata-kata kakek itu selalu
terngiang di kepalaku, benar juga ya.
“Kakek
dulu juga sepertimu, tapi akhirnya Kakek sadar karena..” , kata-kata kakek terputus,
Aku baru
tahu jika Kakek
adalah anak yang senakal Aku dulunya, suaranya tercekat,
“Karena
apa Kek?”,
“Karena
kakek
buyutmu meninggal
dalam perang”, Aku menyesal menanyakannya,
“Waktu
itu Kakek
berumur 8 tahun, sangat nakal sekali, tapi hari itu berbeda, 28 Oktober, saat pulang
sekolah Kakek
mendengar banyak tangisan dari rumah, entah kenapa, tapi hati kecil Kakek berkata bahwa Kakek
harus diam, dan
benar, Kakek
harus diam, karena yang Kakek lihat hanya jenazah ayah Kakek yang telah tiada.. untuk selamanya, terbujur
kaku, Kakek
harus menjadi yatim piatu saat itu, karena nenek buyutmu meninggal saat melahirkan Kakek, seketika itu juga Kakek masuk ke kamar untuk
memakai pakaian yang khusus dipakai untuk pemakaman, keadaan memaksa Kakek untuk memimpin rakyat desa melawan penjajah, jadi
saat pemakaman berlangsung Kakek berusaha untuk tidak menangis, apa
kata mereka jika pemimpin nya menangis?”, kakek terkekeh, tak terlihat
kesedihannya saat itu,
“Kakek
kalang kabut pada awal kepemimpinan, karena hanya seorang tetua desa yang
membantu Kakek, beliaupun sudah sakit-sakitan dan acap kali sarannya kurang membantu,
adik Kakek ada dua, belum lagi mengurus 100 hari kakek buyutmu itu, sekolah
mulai terlupakan, tapi Kakek sadar semuanya harus berubah, Kakek tidak bisa
terus begini, akhirnya Kakek mengambil prioritas yaitu sekolah, zaman dulu
sekolah hanya untuk kalangan pejabat jadi Kakek tidak boleh menyia-nyiakan
kesempatan itu”,
“Kamu sudah enak, punya rumah sendiri, apa-apa dituruti, sekolah tinggal
berangkat pagi pulang jam 2. Kalau soal tugas kan memang sudah kewajiban murid
itu..”, tutupnya.
Aku merenung, perlahan mencerna semua yang dikatakan Kakek barusan. Haruskah
prioritas juga yang ku pilih?
“Eh Nero, lama kali Kau tak mampir ke ruanganku? Mulai rajin Kau
sekarang ya, tak suka bikin ulah lagi? Tersambar petir kah Kau?”, pekik Pak
Tora dari ruangannya ke lapangan tempatku bermain basket.
Pak Tora guru di bagian ketertiban siswa, ‘sahabatku’ dulu, haha.
Komentar
Posting Komentar