bangku taman ini masih kokoh, seperti dulu, lebih kecil untukku, untuk kita, lebih terlihat pendek. pohon ini, makin kokoh, dengan daunnya yang mulai beruguguran dan singgah di pundakku, lalu turun, menyusuri pergelangan tangan ku, membelainya, lalu pergi pada rengkuhan angin yang memainkan anak-anak rambutku yang seiring bertambahnya usia bertambah ikal dengan sendirinya. buku ini, masih kugenggam, buku yang sering kita bicarakan meski aku tak pernah membacanya, sekarang sudah kubaca lima kali, terakhir membacanya aku membayangkan kau di sampingku, menggamit lembut, sambil tertawa cekikikan menebak apa yang terjadi selanjutnya di alur cerita yang itu.
semua disini masih kokoh seakan menunggu kedatanganku kembali, mungkin bersamamu, namun tidak, hanya aku sendiri, menggenggam buku ini, bukan tanganmu. melongok pada jalan setapak itu, di tengah ilalang tinggi, jalan masuk ke taman kita, dimana hanya ada kita, bangku kokoh kita, pohon kokoh kita, canda tawa kita.
rintik mulai menggumam, menciptakan gelegar tersendiri di awan yang terasa tinggal sejengkal dari ubun-ubunku. hujan selalu menjadi obat untuk semua nya, sedih, gembira, haru, semua bisa ada dalam hujan. aku, termasuk salah satu penggila hujan, meringankan semuanya, begitu juga rindu.
di jalan setapak itu, sosokmu, bayangmu, terlihat menerobos ilalangnya yang biasa kau pangkas sendiri, kini lebat, kau tembus. hanya angin. aku tahu, kau tak mungkin kembali kan, aku melihatnya sendiri, darah mu telah mengucur deras, mengotori tangan dan kakimu yang kokoh menopang tubuhku tiap kita memandang bintang di langit bersama rumput kecil, dada bidangmu lemas tak berdaya, mata indah mu yang sayu tertutup kelopak lembut dengan bulu mata yang lentik, bibir mu yang tipis menyunggingkan senyum terakhir itu sambil tetap menggenggam tanganku, membelai rambutku terakhir kali, seakan menenangkan ku dari bahu yang mulai terguncang seiring air mata yang menitik perlahan, memelukku erat untuk pertama dan terakhir kalinya. mencium kening ku. lebih hangat dari biasanya, aku suka. meski perutmu buncit, aku suka. meski kau sering mengejekku karena aku hanya setara dengan pundakmu, aku suka. meski kau suka menggelitik telinga dan tengkuk ku, aku suka. meski. meski aku tahu mungkin memang bukan aku yang kau harapkan untuk ada di sampingmu dan pulang dengan darahmu di tanganku, aku tetap suka. bahkan sayang. hingga hari itu, ketika sirine mobil polisi sibuk memperingatkan warga untuk makin berhati-hati, dan hari ini ketika tidurku kurang lagi nyenyak karena entah berapa hari tak berbincang denganmu.
"salam ya buat dia, sampaikan maafku karena telah mengganggu kehidupannya yang indah selama ini, ia figur terindah yang pernah kutemui di hidupku"
Komentar
Posting Komentar