Langsung ke konten utama

beberapa aksesoris hidup

kenapa tak sebut aksesoris hidup? karena ini bukan kebutuhan primer. cuma pendukung aja. nambah-nambahin gengsi #eh
contoh nya? bisa naik mobil naik motor cantik imut menyenangkan punya tawa yang sehat.
maksudku tawa yang sehat itu bukan tawa yang berat badannya ideal serta imunisasi sebulan sekali. bukan. maksudnya tawa yang bener, yang ikhlas dari hati terdalam.
ada kan bedanya orang yang ketawa dari hati sama cuma dari mulut itu beda. bedain foto yang secara candid lagi ketawa sama yang disuruh ketawa karena mau di foto. beda kan? satunya mangap sempurna satunya mangap nanggung. antara dia pose atau rahangnya kram, susah dibedakan.
pada dasarnya aku sama yanti itu udah damaaai udah kayak biasanyaaa, lho apa? kok gini? bukan. pada dasarnya aku merasa cukup dengan hidupku sekarang dan bersyukur sekali. kenapa? karena aku punya semua yang orang lain susah punya. contoh nya pacar yang diam yang wise gitu dan sangat sabar sekali ngadepin si cerewet ini, juga teman-teman yang guyon nya kadang terlalu keras, haters yang kadang suka nyindir dan saya tau mereka sangat sayang saya #apaan
materi itu kurang penting teman-teman, iya kan? jujur saya tidak punya pin bb, tidak punya banyak foto dengan background yang blur itu, juga tidak punya windows seven, smadav masih 8.4, wmp juga masih versi lama. saya parah. tapi dari semua ini yang paling penting, SAYA MASIH BISA BERSYUKUR.
bersyukur maksudku bukan dapet es krim satu scoop lalu sujud syukur di depan penjualnya lalu membayar lima ribu. itu sungguh perbuatan terbodoh sepanjang masa. gak. maksudku rasa syukur itu kan gak harus diungkapkan seperti itu, yang penting itu dari sini *nusuk dada* *matik* dari hati nurani yang paling dalam.
aku merasa cukup imut cukup cantik cukup eksotis cukup mengagumkan dan menyenangkan untuk dipuja. oke ini fitnah. tapi aku merasa secara fisik meski tidak sempurna namun sudah cukup lah. APA YANG KURANG? aku. kurang. gaul.
sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...