Langsung ke konten utama

lampu itam.

kenapa sih bilangnya lampu mati? kan tv mu juga ikut mati? kenapa bilangnya cuma lampu?
orang-orang suka gitu kan, salah persepsi, alah tapi juga biasanya aku bilangnya lampu mati koook.
tadi lampu mati dari rumahku sampe mrepet sawojajar dan sekitarnya, bunul juga, ya pokoknya daerah sini lah yaw, kayaknya satu malang deh, tapi kok dora enggak ya :/
hapeku itu kan jadi semacem rewel gitu ya kalo gak pake headset orisinil, jadi ya aku minta di temenin njing cari hetset ituuuu. sek, hubungan e apa sama lampu mati. tapi sampe jalan kita gak ngerti mau kemana belinya soalnya yang lain pasti tutup, ke matos? kurang lengkap. mog? sebelah mana? males masuk mol. dan kamu tahu? ini parah, parah abis, ini tindak kecurangan terbesar dalam hidupku, kejadian ini sama dengan mengajarkan generasi bangsa untuk menerima suap. SAYA DISUAP SEKALENG GERINSEN. saya ulangi. grinsen. greensands. ini... aduh, gak kuat ngomongnya, toloooong toloooong, miris. nemen. eh tapi enak lo, aku udah lama gak minum yang original :3
ini deh kelemahan ku, gampang banget beralih topik, sampe pia aja bilang, 'mich sing mau lanjutan ceritane yaopo?' dan selalu tak jawab 'eh cerito sing endi?' sambil nyengir kuda. aduh, unyu pasti.
hapenya bagas udah diambil ya rek? bah. cekno digawe smsan mbek tante endang. cek kapok jare hahahahaha. pokoke gak bosen yo ngguyu perkoro bagas iku, onok ae sing lucu hihihihihi.
sek wes, porek aku poreeek. turu. *kemulan*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...