Langsung ke konten utama

demi appah demi appah

helooooh, akhirnya ya, yang ditunggu kerasa juga hehehe.
si tuiter tuuuuh, akhirnya bisa dibuka lewat laptop. ini laptop modem apa tuiter ya yang diciuuuum *cium satu-satu*
ini hari senen, tadi upacara, dateng puagi dianterin ibuk ku pake sepeda motor, pehlis iki onok opo moro-moro ngeterno nggawe sepeda motor? o.O
tapi jaket ku unyu yaaaa abu-abu kotak gitu. trus aku tadi mau bilang apa lagi ya.. oh iya, bantalnya udah baliiiik yeeeeee. trus tadi band nya juga asik abis, kenapa gak dari kelas 7 aja kayak gini. lak enak a. kenapa kita baru didekatkan sewaktu kelas 8 cemanceman.. aku chuyunk kaliaaaaan :*
yah kami diusir dari ruang band, aku hanya berharap ada seorang anak kelas 7 menyanyikan lagu dari iklan bebelac bebestar favoritku. ternyata tidak ada.
sungguh, mereka terlalu cepat dewasa. oh bukan, aku terlalu bodoh.
lalu apaaa lalu apaaaa? hari ini penuh berkah nemeeen. tadi pagi kan sebenernya mau kramas soalnya tadi malem keringetan, sumuuuuk. tibak e tadi pagi udah kering dan harum kembali, ya sudah aku gak jadi keramas, padahal wes kadung direbusin air sama dibangunin dery. eh itu tadi dery sms jam berapa sih emangnya?
hari rabu jadi gak der cari buku PKn?
bantal nya gimana yaaaaa, entut e wong kediri hmmmmm .. mak sreng ._. becanda deeer hahahaha.
sek ah ya.. aku tak mandi.. udah jam 5 ini..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...