Langsung ke konten utama

bagian empat

ini karya sendiri. nggak sama kayak yang bagian satu, bagian dua, atau bagian tiga.
selamat bergalau riaaaa.
----------------------------------------------------------------------------
RAKA : dia masih disini, memandangku, melirik sekali-sekali sambil terus membaca novel tebal di genggamannya, mengawasi tiap denging tidak mengenakkan dari elektrokardiograf di dekat kepalaku. mataku tertutup, hanya bisa terdiam. namun aku mendengar, daritadi ia mengoceh pelan soal ini itu pada ragaku yang semu. itu hanya raga, aku di sampingmu, menjawab semua pertanyaan dan berkomentar atas ceritamu, seolah bisa membaca pikiranku, ia menjawab pelan, sangat pelan, namun lembut, tersenyum manis, terlalu palsu, menangislah jika tiap tetes air mata yang mengalir dari mata indahmu dapat meringankan beban dariku. sungguh, aku tidak bermaksud menyiksamu dengan semua ini. tidak. kalau bisa, aku hanya ingin disini, kau selimuti dengan selimut abu-abu yang entah darimana kau bawa, benar sayangku, kau tetap cerdas seperti dulu, abu-abu warna yang hangat untuk tubuhku yang hampir mati. hangatnya bukan karena selimut itu, namun karena tanganmu yang sesekali menggenggam tangan dinginku, bibirmu yang sesekali mengecup keningku, binar mata serta senyum manismu yang menyalurkan optimisme ke dalam tubuhku yang bahkan membuka mata saja tidak.
MAURA : aku tahu, dia mendengarku, selalu. kembali ya sayang? kembali tertawa seperti dulu, jangan hanya terdiam, tertidur sepanjang hari dalam balut selimut tebal, jangan sedingin ini mas. peluk aku. lebih erat, hangat. ini selimut abu-abu dariku mas. jadilah hangat sehangat warna abu-abu ini, sehangat senyummu yang biasanya. aku suka. mas, jangan pergi ya, aku masih suka. masih ingin disini, berbincang denganmu. jawab aku mas. jawab. aku suka suaramu, aku rindu. mas. aku pergi dulu ya, disini dingin, aku benci. bukan, bukan hujan, bukan angin, hanya karena kamu tidak disini, aku benci. karenamu, aku berjaga semalaman, ditemani sebuah novel tebal yang terkadang hanya terbuka namun tak terbaca, aku sibuk dengan lamunanku. andai kita bisa berbincang ya mas, mungkin tidak ada air mata yang terbuang sia-sia. cepat kembali ya mas, aku rindu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...