Langsung ke konten utama

another story of hotpants fever

hari gini ya, cowok pun ngerti celana super pendek yang dijuluki hotpants ini. biasa diserasikan dengan tanktop atau kemeja. cukup terbuka? bagi mereka yang berpikiran ngeres mungkin iya. kita ini hidup di jaman kapan sih? kenapa orang-orang sering membatasi kita karena katanya itu mengumbar aurat. iya. aku ngerti kok. dengan bikin posting ini aku juga menyadari sebenernya banyak sisi negatif ketimbang positif dari hotpants. soal mengumbar aurat, pertama, aku juga ngerti, tapi ini fashion, sedangkan fashion mungkin adalah pecahan jiwa dari banyak orang, jadi kita sebenernya gak berhak kan membatasi jiwa seseorang? kedua, soal pelecehan seksual. pelecehan seksual itu bukan karena hotpants atau tanktop nya, kenapa yang disalahin yang pake itu? kenapa mereka yang terangsang justru gak disalahin? itu kan kesalahan kedua belah pihak. kenapa harus cewek meluluuuuuuuu.
jaman sekarang banyak loh yang pake tanktop sama hotpants, harusnya cowok-cowok juga ngerti dumz ya gimana mereka harus menjaga nafsu. katanya iman kuaaaat *senggol mas-mas*
dengan adanya kecaman tajam soal hotpants ini sebenernya sangat membatasi ruang gerak banget. pasalnya hotpants ini lebih dari sekedar nyuaman. apa ya kata-katanya yang lebih dari itu? buat orang yang belum pede sih ya mungkin agak risih, tapi enak tau gak. soalnya biasanya ya kalo cari celana itu menyesuaikan dari betis sampe paha, tapi ini cuma paha, jadi bagi mereka yang paha kecil betis besar atau sebaliknya juga malah lebih enak carinya, cuma cari ukuran paha sama pinggang kan?
kenapa aku bikin posting gini? karena jujur ajeee ya, ane kan gak bisa pake celana panjang gan :malu.
rasanya puanaaaaas gitu. males aja pokoknya. pake celana pendek itu lebih praktis, lebih cepet buat pipis. gimana ya? udah wes segitu aja. intinya gausah lah sok suci pake acara ngelarang hotpants itu. just nikmati as seni, jangan sebagai bahan berngeres-ngeres ria.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...