Langsung ke konten utama

ragil.

ragil itu nama lain dari bungsu. bukan. kalian salah besar jika menuduh mereka anak hasil gelap pak lurah dengan selingkuhannya, bukan, ini sebutan buat anak terakhir dari sebuah keluarga.
jadi begini looooo, aku ingin menceritakan sisi lain kehidupan anak bungsu yang katanya paling enak paling dimanja paling dielu-elukan di seantero dunia, eh enggak yang terakhir ini mengada-ada. lanjut eaaaapz.
aku ini juga anak bungsu, kata siapa anak bungsu itu dimanja? salah buesar. jadi di rumahku anak bungsu iku justru bagian disuruh-suruh, bagian di jadiin guyonan paling garing. paling disiksa, ditombak dipecut, tidak. aku mulai ngaco lagi. apalagi kan aku cewek jadinya kalo hari raya itu yang lain ngumpul aku... KORAH-KORAH. bayangno seberapa aku tersiksa ne ditambah ibuk ku sing sakarepe dhuewe iku. AKU DUWE KUPING LORO DAN LORO-LORONE GAK BUDHEG!
wes. puas a. kalo ada yang ngomong anak bungsu itu dimanja, sesungguhnya mereka hanya manusia-manusia beruntung di dunia, tapi kami.. anak ragil yang tertukar, bukan. anak ragil yang terbuang, duh kok gak enak gini bahasanya, pokoknya kami anak ragil yang kurang beruntung dalam hal nasib ini intinya ada untuk jabatan paling rendah dalam lingkup keluarga. itu gak enak banget. serius.
tapi ya, ini sekedar pelajaran aja dari pengalamanku, jadi anak ragil yang kurang beruntung dalam hal nasib juga ada minus plus nya. kita jadi terbiasa gak minta tolong kan karena kita yang biasanya dimintai tolong, trus waktu kita udah dewasa kan kita jadi terbiasa tegas menghadapi masalah, tapi gak enaknya bisa-bisa kita ngedidik anak kita kayak dulu orangtua kita ngedidik, pertamanya kita sih janji pada diri sendiri gak bakal gitu tapi ternyata kita malah ngikutin orangtua gitu, eh aku ngomong apa seh. kan belom pengalaman padahal. kenapa emich bisa ngomong gini? soalnya emich suka berkhayal ceman-cemaaan jadi muup eaaa kalo emich suka agak ngaco. aku tidur dulu wes biar tambah unyu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...