Langsung ke konten utama

madre

aku tadi jalan-jalan sama ayahku ke gramedia matos. ih sumpah, luama rasanya gak baca novel, beli dua sekaligus judulnya madre sama ayahku (bukan) pembohong. yang terakhir aku belum baca tapi setahuku liat di belakangnya itu cerita soal ayahnya yang suka ngedongengin pas mau tidur sampe pas dia udah 20 tahun dia gak percaya lagi. yang paling berkesan dari dua buku itu tetep madre. jadi ceritanya soal orang yang dikasih warisan tapi gak tau seluk beluk asal mula kenapa dia dikasih warisan, boro-boro penyebab dia dikasih warisan, yang ngasih warisan aja nggak dia kenal. seru deh ceritanya, aku baru setengah baca, yang ngarang tante dee a.k.a tante dewi lestari. nanti kalo aku jadi penulis aku mau jadi kayak tante dee gitu. nanti di covernya aku tulis mich gitu. biar kayak tante dee :3
tokoh utama di madre ini namanya tansen. aku pengen deh idup kayak tansen ini, kebeneran tansen juga suka curhat di blog kayak aku, tansen tinggal di bali, freelance, kadang ngajar surfing, kadang ngelabangin rambut, kadang bikin onar hehe. asik deh jadi tansen, bisa nikmatin hidupnya dia gituuu, aku pengen kayak gitu, enak kayaknya. bisa nyante, rileek. tapi aku gak bisa kayak gitu deh .. aku masih punya urusan lain di duniaku yang  lebih penting dari rilek-rilek. okeee. buka puasa duluuu. selamat berbuka pembacaaa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...