Langsung ke konten utama
lepas.


aku benci tetap berdiri. aku ingin sedetik, duduk.
atau mungkin malah berbaring di dadamu yang bidang.
menggelandot di rengkuh tanganmu yang kokoh.
bernostalgia atas desir yang lalu.
tertawa renyah, manja. membelai wajahmu yang hangat.
mendapati waktu telah perlahan memudarkan semuanya.
tidak. aku bukan lagi aku. aku telah pergi.
bukan lagi yang tertawa bersamamu.
bukan lagi yang ada di rengkuh dan dekapmu.
aku bajingan baik-baik perkecambahan cecunguk lugu.
harusnya tidak ya. harusnya aku tidak berkedip.
aku masih ingin terus dalam hangat itu.
menemukanmu menjadi realita adalah pelajaran menjadi bajingan realistis untukku.
bayang itu semu. namun entah, aku tetap percaya.
lepas darimu. tidak. aku tidak mau.
maaf aku belum bisa. sukar.

realistis.


jangan kawan, jangan mencoba.
aku masih butuh waktu.
siapa lagi, satu-satunya hanya kamu.
cecunguk bajingan paling mengerti aku.
siapa lagi, jangan memojokkanku seolah aku tersangka dalam pengadilan.
aku rindu celotehmu. jangan serius. aku benci.
terima kasih ya. atas waktumu menjadi tentakelku.
realistis itu seram ya. aku bahkan benci.
aku benci belajar realistis.
namun aku yakin. suatu saat.
ketika aku bukan lagi cecunguk bajingan bodoh.
aku bajingan baik-baik. aku akan menjadi realistis kawan.
sampai ketemu. di kerealistisan kita.
nanti.

puntung rokok.


bakar. terus bakar.
hisap. terus hisap. aku terima.
bagaimana sayang. cukup kah.
ubah dirimu cinta. jadilah bajingan sepertiku.
ajari aku menjadi bagian hidupmu.
bukankah dulu kita tertawa bersama kasih.
masih disitu kah. dengar aku. sekali lagi.
sesukamu. aku terima.
toh aku bukan bagian hidupmu.
bawa aku sayang. dalam kepul asap dan puntung rokok.

kepak belia.


temui aku secepatnya.
penting.
temui aku dalam reraga baruku.
dalam balut seragam yang hampir mulai tak pernah rapi.
temui aku lagi. dalam frekuensi lamban, jangan berkedip.
buka mata sayu ku itu. oh, masihkah milikku. lebih lebar ya.
aku masih bajingan baik-baik. namun aku bukan lagi cecunguk lugu.
temui aku dalam dekap anak rambut yang mengecup satu sama lain.
buka mata sayu ku. entah masihkah milikku.
lihat aku dalam rengkuh ujung-ujung rambut yang mulai ikal dan tak teratur.
aku masih mencoba melebarkan sayapku kasih.
oh, masihkah kasihku.
dan ini. langkah menuju jiwa baru.
kepak belia ku. saksi bisu pergantian jiwa lama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...