Langsung ke konten utama

bagian tiga.

ini terusannya yang bagian dua. ikutin yaaa.. makasih :)
-----------------------------------------------------------------------------
RAKA : tidak. tidak ada lagi mengobrol, tersenyum, bahkan hanya mengangguk atau melirik, atau yah semuanya. aku tidak mau tahu lagi bajingan brengsek ini berulah apa lagi. toh ini hidupku, dia hanya pengusik, pengganggu. ini semua terpaksa, aku terpaksa ada di rumah sakit ini menjaganya yang terkadang menyakiti dirinya sendiri dengan ulah yang tidak-tidak, dia ini kenapa. bodoh sekali. orang gila seperti dia harusnya sudah berada di rumah sakit jiwa agar tidak mengganggu ketenangan di rumah sakit untuk manusia normal ini. dia terlalu banyak merokok entah meminum pil sesat entah minum minuman keras jenis apa pula, yang jelas setahuku ia begini karena aku. bodoh. bukannya banyak laki-laki yang mau dengannya  yang mengejarnya, mengorbankan seluruh yang mereka punya untuk gadis tidak punya aturan seperti dia, yang mau menghirup nafasnya yang masih bau rokok dan minuman keras, menerima raga acak-acakannya yang beraroma bayi, kontras. miris melihat kakinya  yang dipenuhi bekas suntikan obat penenang yang mencegahnya berteriak lebih keras, merusak pita suaranya yang biasanya digunakan untuk tertawa renyah dan menyenandungkan dendang klasik, menyiksa diri sendiri dan lebih mengejutkan lagi, tidak bisa berhenti jika bukan dengan obat penenang atau.. bisikanku.
MAURA : ya memang. aku juga tahu aku bodoh. tidak bisa berhenti menyiksa diri sendiri, berteriak, hanya bisa diam jika sudah diberi obat penenang. tapi tahukah, beberapa hari ini aku menghubungi teman-temanku via pesan singkat. mereka akan datang beberapa hari lagi dan aku sama sekali tidak ingin membuatmu malu di depan mereka, jadi sebenarnya aku ingin mengusirmu pergi malam ini. sayangnya.. tiap bertemu denganmu tubuhku selalu bereaksi seperti itu hingga tak bisa kukendalikan, dan bisikanmu telah meluluh lantakkan semua tulang-tulangku, lemas, pingsan. aneh ya aku? sekali. salah besar. aku banyak merokok dan minum minuman keras, tapi tidak dengan pil sesat. aku sama sekali tidak menyentuhnya, begitu juga dengan 'dia' jadi jangan salahkan dia jika aku mulai mengonsumsi itu. kamu dipanggil hanya untuk membisikiku karena tubuhku tidak bisa menerima banyak obat penenang. tubuhku benar-benar tidak bersahabat denganmu, tidak bisa lepas namun juga bereaksi keras terhadapmu. aku terlalu tidak siap jika bertemu langsung denganmu, karena realita telah bertindak, mengatakan bahwa kamu bukan lagi yang dulu.
RAKA : berhenti ya. jangan lagi membuatku tetap disini, kamu tahu? aku punya kehidupan lain yang lebih menarik daripada kamu! aku bukan tidak tertarik padamu karena wangi rokok alkohol dan sabun bayi mu, tapi memang aku sudah punya kehidupan sendiri dengan wanitaku sendiri! bukan remaja bodoh sepertimu yang menyia-nyiakan tubuh yang masih sehat. sayang? kamu bilang sayang? apa sayang? aku punya sayangku sendiri pada wanita lain. bukan bajingan sialan sepertimu bodoh! berhentilah menulis yang tidak-tidak tentang aku! aku tidak punya perasaan? biar. toh nanti mungkin aku tidak akan menemuimu lagi. kau, terlalu menjijikkan untuk dikenang.
MAURA : hari ini berbeda. aku sudah tidak bereaksi seperti biasanya terhadapmu, aku hanya tersenyum, diam sementara aku bisa melihat raut mu yang masam, terpaksa, sebal, muak, jijik. iya aku sama sekali tidak berhak ada di hidupmu, kamu sudah lama menghilang begitu juga aku. mungkin sekarang kamu sudah bisa menjalani hidupmu sendiri ya bodoh? tidak lagi terjaga di rumah sakit ditemani novel-novel tebalmu dan bantal kesayanganku. kembali pada kehidupanmu yang jauh lebih teratur dari apa yang kulakukan pada hidupku. hari itu, tanpa pamit. kau pergi. mengemasi semua barangmu dari kamar rumah sakit ini. bersama buku-buku tebalmu. mau kemana? sekolah lagi? yang serius ya. selamat tinggal. aku tahu kamu tidak akan menemuiku lagi. aku, terlalu menjijikkan untuk dikenang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...