Langsung ke konten utama

bagian dua.

ini sebenernya bukan terusannya, ini karya individu. sendiri. gak gabung sama yang bagian satu.
silahkan dinikmati penggalauan nya :)
-----------------------------------------------------------------------------
RAKA : siapa peduli padanya. biar. dia itu menurutku terlalu kekanak-kanakan. harusnya ketika aku pergi dia biasa saja. toh diantara kami tidak ada apa-apa. itu dulu. aku 'milik' orang lain. dia harus lebih dewasa dan berpikir realistis soal kami. aku datang karena ini kota tempat kelahiranku, dia tetap dia. hidupku sudah lebih baik tanpanya. mau jadi apa dia begitu terus, dia juga punya masa depan, aku juga. sekarang mana hidupnya? bukan makin dewasa makin bajingan, makin tak punya aturan, berapa lagi poin yang akan ia dapat di kesiswaan? teruslah. terus begitu. sudahlah. mau kau cari sampai bawah hatiku pun desir itu sudah tak ada!
MAURA : sialan. brengsek. aku tidak peduli lagi padamu. mereka temanku haha. tahu kenapa? karena mereka telah menghilangkan semua pikiranku tentang kamu. laki-laki bajingan, siapa peduli, nyatanya sekarang yang membelaku cuma dia. minuman itu, sepuntung rokok .. rasanya tak cukup untuk melupakan semua kenangan kita. jangan kembali yaaaa. dadaaa. pergi sanaaa. kau mau sebatang rokok? oh aku lupa kau tidak merokok ya. tenang. ini hanya semalam. esok aku sudah menjadi maura yang lama, mauramuuuuu hahahahaha. apa? melawan? kau siapa? iya. aku kekanak-kanakan. tapi semua ulah brutalku darimu yang tidak pernah lagi melirikku barang sekali. ayolah. aku sudah lebih dewasa, lebih dewasa dari ini dan sebelumnya. kau saja yang bodoh raka!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...