Langsung ke konten utama

15082011

serabut kapas ini menjadi saksi ketika aku mulai tercekat. tenggelam dalam belenggu keras lembar-lembar kertas putih dengan coretan halus tanpa sedikit pun membekas di balik halamannya. bersamaan dengan tetes cairan merah yang sedikit demi sedikit menghangat, mengalir di tulang keringku, membuat sensasi yang tidak biasa ku alami sebelum ini, yah kecuali ketika mulai merasakan sayatan tajam pisau yang sering kali ku genggam erat tiap rasa sakitnya membantuku pergi. membuka lapisan kulit di pergelangan tanganku hingga tiup angin bersama perihnya lelembut pasir bisa masuk kedalamnya, bertiup ke sumber masalah di tubuhku, dan membawanya pergi. denyut nadiku yang melemah membawa serta deru nafasku yang makin lembut hingga tak terdengar lagi, mulai tak peka, dan aku berusaha berdiri di atas kursi, mengalungkan serabut kapas, memeluk buku mu yang telah basah kuyup oleh darah dan air mataku, kubaca lembar demi lembar yang lusuh, coretmu yang rapi mulai pudar oleh noda basah dan tertutup gumpal darah. senyum mu berkelebat cepat, hangat, merasuk .. menghantarku lemas, terdiam, suram. darah yang meneter setitik demi setitik mendadak mengalir, cepat dan semakin cepat. nafasku mulai tercekat, dibatasi oleh sekat tali tambang ini, menekan sedikit demi sedikit tenggorokanku, mempersempit jalur oksigen ke dalam paru-paru. runtuh, luruh, dan ketika kulit ku mulai pucat dengan cipratan darah, ragaku mulai tergantung, nafasmu terderu di telingaku. tak taukah aku terbaring, menjerit .. entah siapa yang mendengar, bukumu masih ku genggam lemas ketika aku mulai terguncang dalam gendong dua tanganmu nan tetap kokoh seperti biasanya, seperti dulu terakhir aku melihatmu. entah, aku tak lagi sadar, ketika terbangun aku hanya ada di dekapmu, dalam tangis pertama yang kudengar darimu, bahumu nan gagah, selalu ku suka, terguncang pelan, kecup mu masih kurasa di punggung tanganku, aku disini, masih disampingmu. aku belum pergi. sama sekali belum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...