serabut kapas ini menjadi saksi ketika aku mulai tercekat. tenggelam dalam belenggu keras lembar-lembar kertas putih dengan coretan halus tanpa sedikit pun membekas di balik halamannya. bersamaan dengan tetes cairan merah yang sedikit demi sedikit menghangat, mengalir di tulang keringku, membuat sensasi yang tidak biasa ku alami sebelum ini, yah kecuali ketika mulai merasakan sayatan tajam pisau yang sering kali ku genggam erat tiap rasa sakitnya membantuku pergi. membuka lapisan kulit di pergelangan tanganku hingga tiup angin bersama perihnya lelembut pasir bisa masuk kedalamnya, bertiup ke sumber masalah di tubuhku, dan membawanya pergi. denyut nadiku yang melemah membawa serta deru nafasku yang makin lembut hingga tak terdengar lagi, mulai tak peka, dan aku berusaha berdiri di atas kursi, mengalungkan serabut kapas, memeluk buku mu yang telah basah kuyup oleh darah dan air mataku, kubaca lembar demi lembar yang lusuh, coretmu yang rapi mulai pudar oleh noda basah dan tertutup gumpal darah. senyum mu berkelebat cepat, hangat, merasuk .. menghantarku lemas, terdiam, suram. darah yang meneter setitik demi setitik mendadak mengalir, cepat dan semakin cepat. nafasku mulai tercekat, dibatasi oleh sekat tali tambang ini, menekan sedikit demi sedikit tenggorokanku, mempersempit jalur oksigen ke dalam paru-paru. runtuh, luruh, dan ketika kulit ku mulai pucat dengan cipratan darah, ragaku mulai tergantung, nafasmu terderu di telingaku. tak taukah aku terbaring, menjerit .. entah siapa yang mendengar, bukumu masih ku genggam lemas ketika aku mulai terguncang dalam gendong dua tanganmu nan tetap kokoh seperti biasanya, seperti dulu terakhir aku melihatmu. entah, aku tak lagi sadar, ketika terbangun aku hanya ada di dekapmu, dalam tangis pertama yang kudengar darimu, bahumu nan gagah, selalu ku suka, terguncang pelan, kecup mu masih kurasa di punggung tanganku, aku disini, masih disampingmu. aku belum pergi. sama sekali belum.
Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...
Komentar
Posting Komentar