Langsung ke konten utama

pertamaaa

tadi malem pertama kali tarawih. trus tadi pertama kali sahur. ini hari pertama puasa.
emang enaaaak bet ya kalo pas puasa, badan berasa enteng.
andai ya aku dateng ke dunianya dia lebih awal. paling sekarang bukan ....
LOH HUBUNGANNYA APA.
wes ntar tambah galau. aku wegah pol mbahas itu lagi.
pada nggak ngerti ya aku ngomong apa? ya gausah dipikirin lah. lupain aja.
dia hanya seorang penonton anonim yang agaknya sudah tersisih dari drama kehidupanku.
kalo aku bilang dia siapa pasti kalian bakal bilang, 'would you stop that?'
aku pernah ngomongin dia panjang lebar tapi akhirnya malah gini. ngomonginnya disini kok.
bisa liat di kolom iseng-iseng berhadiah.
yeah, frontal banget aku. dulu aku berharap bulan ramadhan ini ada dia yang ngingetin gini gitu. jangan meso, tunggu buka, blablabla. cewek mulut dijaga, jangan gini jangan gitu. kangen pol sama cerewetnya. tapi ya buat apa, berharga di hidupnya aja aku enggak.
aku sekarang mau bahas semua yang bertitle pertama.
ini puasa hari pertama yang aku laluin pas kelas 8. dan puasa ini dateng pas aku lagi galau-galau nya. galau gak galau seh gak berpengaruh sebenernya. pokoknya ramadhan ini aku bahagia lah intinya, aku pengen buber sama juthig soalnya tahun lalu aku gak bisa ikut. eman kan? banget. padahal hari itu akhire lo aku gak ngapa-ngapain, katanya buber bareng sodara ternyata sodaraku gak ada yang dateng. nyuesel pol aku.
wes gak papa. yang lalu biarlah berlalu.
pagi ini meskipun puasa aku tetep onlen. onlen butuh berapa kalori emangnya --___--
sama nyari ostnya (500) days of summer. enak-enak ternyata <--- ketinggalan banget
kangen deh pas puasa gini sama juthig sama-sama melongo pas hari senin karena si mami yang makin imut :3
dari tadi ngrasani orang thok heeee. wes diem. aku mau numblr duluuuu
babaiiiiii muaaaah #iniapasih

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...