Langsung ke konten utama

rasanya gak dianggep.

sebegitunya aku nggak berharga di mata dia?
kenapa waktu di depan orang-orang, di facebook, twitter, dia kayak gitu sama mbak inne. status, tweet, semua buat mbak inne. tapi kalo waktu itu dia ngomong sama aku dia sebenernya bisa jadi temen ngobrol yang baik. aku terlalu childish ya? 
apa karena aku baru kenal abang beberapa bulan ini, jadi abang nggak nganggep aku ada. 
katanya kalo aku mau marah bilang aja, kalo aku sebel bilang aja, nah aku kan udah bilang trus ternyata sama aja. ternyata sampe sekarang aku nggak pernah dianggep.
aku tau semuanya soal 'someone special' dulu itu TERNYATA cuma boong, emang aku special nya apa, nggak ada. aku nggak aktif organisasi sekolah, aku malah terpojok sama cowok-cowok bengal di kelasku yang suka bilang aku mupeng, ternyata aku emang bajingan. nggak kayak abang yang bisa maju ke depan sana karena dapet nilai sempurna.
aku percaya abang sayang aku, aku tahu abang orang baik, aku sayang abang karena aku tau suatu saat kita akan ketemu lagi dan jadi temen yang baik. aku tahu abang emang 'raja' itu, yang katanya waktu muda punya ambisi besar dan punya pikiran cemerlang. ini sekarang abang masih muda, dan udah kebukti kan? 'raja' itu aja bisa beneran jadi raja, abang pasti bisa.
oh iya aku lupa aku nggak dianggep, jadi ngapain aku gini.
semangatnya abang ada di diri aku, tapi kenapa kalo aku kasih semangat ke abang dia malah ngeharepin semangat dari mbak inne? LET HER GO.
tadi harusnya aku ngasih bunga ke abang, tapi nanti abang kasian jadi malu. aku ngasih ke bu seriwati, duh aku sampe dicium, tapi aku sayang bu seriwati soalnya udah usaha buat nyuruh abang nyanyi.
sandiwara. bukan cuma aku, semua orang nganggep ini sandiwara sampe mereka pun ngeboongin aku.
aku ngerti ngelupain seseorang itu nggak semudah membalikkan telapak tangan, tapi ternyata? ngelupain aku itu mudah, soalnya emang aku nggak pernah berharga di hidupmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...