Langsung ke konten utama

akhirnya ..

besok ada gelar seni dan prestasi, aku mau nyanyi back to december buat abang soalnya aku sayang abang. 26 desember itu pertama kali abang ngomen statusku, waktu itu abang masih judes, sekarang enggak, soalnya aku udah bilang abang tambah judes jadi abang nggak njudesin aku lagi. aku sebel sama waktu soalnya waktu itu jahat lebih jahat dari abang, kenapa waktu nggak pernah ngasih kesempatan aku buat bilang makasih ke abang, kenapa waktu nggak ngasih kesempatan biar aku bisa kenal sama abang lebih lama dari ini, kenapa waktu itu jahat tapi bikin aku sayang abang.
kalo abang keterima di SMA TN aku gimana dong ya? ._.
selama abang nggak ada aku mau belajar serius biar waktu abang balik aku bisa ngasih tau kalo nilaiku bagus, bukan nilai ujian 25 itu.
aku nggak mau nangis soalnya aku pilek, nanti malah nggak bisa ngomong. akhirnya ya hari itu dateng juga, aku udah nantiin hari itu, sabtu, 11 juni 2011. hari terakhir aku liat abang waktu abang lulus. aku jadi inget dulu-dulu deh ih, haha, abang kalo marah nyeremin, nggak mau ngomong, tapi lucu soalnya marah karena aku cuekin.
dari dulu abang bilang kalo ada yang mau diomongin langsung aja omongin, semakin nggak diomongin masalahnya semakin gede, ntar akhir-akhirnya aku kecewa sendiri soalnya apa yang aku pengen abang nggak pernah tau, ntar aku ngambek. besok kayaknya aku mau bilang sesuatu ke abang.
ya mungkin abang eneg aku bilang gini, tapi yang ini beda soalnya ini buat yang pertama aku omongin tapi disaat terakhir kita ketemu. liat aja besok aku ada nyali apa enggak.
makasih abang udah bikin idupku lebih berwarna, aku nggak nyesel meskipun baru kenal abang setaun ini, malah aku bersyukur masih bisa ketemu abang.
abaang, sampe sekarang aku masih pengen nyanyi sama abang. tapi nggak mungkin, yaudah.
dada abaaang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...