Langsung ke konten utama

Timing


Aku masih bisa merasakan getar di tubuhku, entah karena menggigil kedinginan atau karena akhirnya mendengar kata-kata yang selama ini ingin aku katakan padamu telah terlebih dahulu kamu katakan pada seorang aku,

Thank you for existing.”

Diikuti dengan ucapan selamat malam dan salam. Waalaikumsalam, Mas. Just in case kamu nggak dengar kelanjutannya.

Esok, mungkin kita akan kembali bercengkrama seperti selayaknya tidak pernah ada yang terjadi malam ini. Seperti halnya kita telah pernah mengabaikan rasa yang tidak pernah kita utarakan pada satu sama lain akhirnya berlabuh pada orang yang datang sebelum dan setelahnya. Pada satu sisi, kita mengagumi sebuah hubungan yang kita bina dengan ragu-ragu, namun di sisi lainnya kita merasa bahwa apa yang kita jalani sekarang tidak akan pernah menemui ujung. 

Aku tidak tahu bagaimana mereka menyebut perasaan yang sedang aku rasakan, tapi apabila ini memang bukan cinta maka aku ingin merasakannya lebih lama lagi.

I like you, I adore you, I care about you. I’ve been seeing you happy lately, and I swear, I never know that I could be this happy just by looking at you. Despite the fact that maybe you just do it to please everybody on the internet.

Aku pernah ingin menemuimu untuk hanya berkata,

“I love you. I just want you to know that I love you and I can tell that you are now happy and madly in love too. I don’t need any answer, I just love you.

But that would be too much. I never said that until you’re back to your hometown. I don’t want to wonder if I actually done that because what we are now is beautifully sad and this is how we do with our life. We romanticizing everything.

We made from beautiful coincidences.
And I couldn’t be more grateful for that.
I don’t want to cry but I cry now, happily.

I’m happy that we finally admit our feelings.
I’m happy that we finally be honest to ourselves. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...