Langsung ke konten utama

tentakel.

resah. aku hanya bisa menerawang dengan pandangan sayu menuju ke arakan awan. harusnya kan pagi ini kita bercanda tawa saling melempar senyum bahagia, namun aku hanya bisa mengingat tiap detil bayangmu yang tak pernah hadir lagi. semu. kau tahu, kota ini makin dingin, nafasku mulai membentuk kabut tipis di jendela kamar yang sekarang sering tak terjamah. aku terlalu sibuk dengan urusan sosialku, sibuk tertawa dengan sahabatku sibuk mencari pelampiasan tersembunyi untuk lepas dari reraga yang semu. perlahan, aku menghapus kabut di jendela ku, jendela kita. dulu, kita sering membukanya bukan? lalu melompatinya untuk mengarah ke balkon, padahal kita paham betul di sebelah jendela kita terdapat pintu yang terbuka lebar. ah mas .. sekarang, aku lebih suka membuka pintu itu untuk mengganti udara tiap pagi. berharap tak menemukan bayangmu di balkon disertai cengir kuda.

dulu kamu sering menirukan gerakan binatang ini itu di balkon kita. aku selalu tertawa terpingkal-pingkal tanpa bisa mengontrol diriku. tapi aku paling suka ketika dirimu menyuruhku menirukan gerakan gurita dengan bibir yang dimonyong-monyongkan sambil menggoyangkan tangan kesana kemari agar nampak seperti tentakel. mimik wajahmu kali itu tak pernah penat berlari di ingatanku. sejenak aku merenung, berpikir, kau adalah kepala gurita itu dimana aku, tentakel, tidak bisa hidup tanpa kepalamu. namun nampaknya ku hanya tentakel buatan, tentakel yang otomatis bergerak sendiri tanpa perlu dikontrol sumber energinya. ah sudahlah, toh aku sudah tak lagi ada kan, aku bukan lagi tentakel, aku sudah menjadi bagian tersendiri atau mungkin makhluk lain selain gurita. mungkin menjadi singa yang kuat, kucing yang manja, atau mungkin binatang kecil yang lemah. hanya bisa berharap ada seseorang yang peduli atas nasibku, harusnya aku bersyukur atas apa yang aku punya, namun tiap susunan puzzle dalam hidupku selalu nampak kosong. lengkap, namun kosong. hampa.

derit pintu kamarku yang terbuka pelan menambah dramatisasi. itu bukan kamu kan? kenapa datang? aku tetap diam. hanya melirik. aku bukan lagi tentakelmu .. bukan ..

"aku disini, jangan lagi diam .. aku benci"
aku masih termenung. tak memalingkan pandanganku dari matahari yang mulai meredup.
aku bukan lagi tentakelnya.
"aku yakin kamu bukan lagi tentakel ku, karena kita sama-sama bukan lagi gurita. kita manusia, dan aku tahu rusuk ku tetap bersamamu"
bukan, kau salah. aku masih sama, tak bisa lepas dari bayangmu. aku tetap tentakelmu, mungkin sekarang, aku bukan lagi tentakel, karena kamu sudah manusia kan? aku adalah partikel-partikel kecil dari bagian tubuhmu .. maaf ya. aku masih tidak bisa..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...