Langsung ke konten utama

sendiri

aku pengen banget sendiri. hidupku selama ini tasteless bet. kayak sayur gak pake garem, bukan cuma garem, mungkin sama bumbu lainnya juga. temen-temenku punya pacar semua. guess what dora udah naracap sama bli. dan aku? apa? sama anjing gak jelas, marah-marahan, flirting sama bagas, digosipin sama didi, gilak. aku males sebenernya kayak gini, aku pengen idupku lurus-lurus aja, jelas kayak dulu. kenal mas ini mas itu, deket sama salah satu, ngomong-ngomong soal diri satu sama lain, flirting bentar, jadian, jalan, putus. kebalik ya? harusnya jalan dulu baru jadian, tapi setiap aku urutan mesti urutannya gini.
aku ngerti rasanya jalan sendirian itu gimana, ke matos sendirian naik angkot, waktu sampe kita gak ngerti harus kemana kecuali aku punya tujuan mau nonton atau beli buku, karena kita ngerti disana gak ada yang nunggu, gak ada yang bisa diajak bercanda. apalagi anak muda, duitnya cuma berapa sih? paling cukup buat ongkos angkot, makan, nonton. itu pun kalo tiket nontonnya hari itu lagi murah. asik gak sih nonton film sendiri? kayak jomblo ngenes, ya emang sih ya.
sejauh ini aku gak pernah balikan, soalnya ya emang setelah putus dari mereka aku banyak berubah. kebanyakan juga putusnya karena aku berubah. kata ayahku karena zodiak ku gemini aku gampang bosenan, jadi pasti suka berubah-berubah sifatnya, ya aku ngerti sih nggak semua-semua harus nurutin ayahku, tapi yang ini bener, kadang aku pengen pake rok sama flat shoes kadang pake celana pendek, hem sama sneakers, kadang manis kadang ceplas ceplos. aku males ngladenin orang-orang yang emang nggak bisa banget ngerti 'aku' yang macem-macem ini. ya susah carinya, ada sih beberapa, cewek tapi .. aku sek normaaaaal.
yaaah, mungkin sekali-sekali bisa nyoba jalan ke mx sama matos sendirian gak nggelibet sama bli dan dora. kambing congek aku kalo ikut mereka jalan -.- udah ah, udah malem. besok aku mau masuk sekolah liat anak mos :p

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ritual Mengganti Seprei (her)

Kepada seseorang yang hatinya pernah kuremukkan lalu kususun kembali dengan tatanan yang tidak tepat, mungkin malam ini kamu sibuk mengerjap, memandangi langit-langit kamar yang kosong sembari membiarkan memori tentang pertengkaran serta pertukaran kenangan kita di belakang kedua matamu. Begitu pula dengan Aku, yang sibuk berandai-andai bagaimana esok pagi akan kulewatkan tanpa membuatkanmu sepiring panekuk yang terlalu matang dan tidak kamu suka, tapi tetap kamu makan karena kamu tahu hanya itu yang bisa aku buat. Aroma kopi yang tiap pagi Aku buatkan untukmu, tiga sendok bubuk kopi dan satu sendok gula yang diseduh dengan air panas hasil rebusan, masih lekat di remang-remang indra penciumanku. Segala kesibukan yang dulu terasa berat dan tidak menyenangkan, kini terasa kian dirindukan. Sepiring panekuk dan secangkir kopi yang kamu balas dengan senyum dan kecup di pipi kananku, Aku selalu suka. Kamu selalu bersikukuh untuk sarapan, meski setelah itu kegiatanmu hanya seputar bergelu...

Menjadi Rumah

Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah amarahmu. Bersedihlah, menangislah. Tersenyumlah. Karena dalam setiap amarahmu akan ada ketenangan yang menerimamu kembali. Ada ketenangan yang menjadi rumah bagi amarahmu. Karena dalam sedih dan tangismu akan ada bahagia dan peluk-peluknya. Ada bahagia yang menjadi rumah bagi mereka. Maka tersenyumlah, karena ada kisah-kisah sendu yang siap menerimamu kembali. Ada kisah sendu yang menjadi rumah bagi senyummu. Mengingatkanmu kembali pada aroma seorang yang pernah membuatmu patah hati dan kembali berdiri dua kali lebih tegar. Mengingatkanmu atas gelak tawa di tengah malam ketika letih melanda dan lelucon apapun terasa lucu. Mengingatkanmu pada sore-sore yang dihabiskan dengan berkendara. Sudahkah kamu pulang? Pulanglah, peluklah dirimu. Pulanglah, karena tanpa bahagia kamu bisa pulang. Pulanglah, karena amarah juga merindukanmu. Pulanglah, tidak ada yang salah dengan menjadi rapuh.

Belahan Dunia Lain

Kamu tidak datang dan tidak pernah datang. Mungkin di belahan dunia lain, kamu telah menemukan kehidupan yang lebih baik. Kamu bertemu orang-orang yang mendorongmu maju dan, tentu saja, melupakan Aku. Mungkin di belahan dunia lain, kamu hanya merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berlibur. Tentu saja, masih banyak urusan yang perlu kamu selesaikan selain perpisahan yang pantas untuk kita. Mungkin di belahan dunia lain, kamu memutuskan bahwa masa lalu kita tidak akan berpengaruh untuk kelanjutan hidupmu mendatang. Karena, tentu saja, Aku bukan siapa-siapa. Mungkin di belahan dunia lain, kamu sedang kelaparan dan memutuskan untuk memasak sebungkus mi instan, persis seperti yang kini Aku lakukan. Karena, tentu saja, hidup yang tidak sehat adalah yang membuatmu paling nyaman. Mungkin di belahan dunia lain, kamu merasa bahwa ketakutan diciptakan oleh orang lain dan bukan dirimu sendiri. Sehingga kamu mulai menyalahkan semua orang dan mendorong mereka pergi. Mungkin di belahan dunia ...